Perlu Kearifan untuk Memfilter
Zbr249x Buletin-khidmah Wacana
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi masa kini, telah menjadikan tontonan sebagai tuntunan, dan tuntunan sebagai tontonan. Terlepas dari sisi baiknya, nilai negatif media massa seperti TV dan internet, telah merasuki jiwa manusia tanpa kenal umur, meluluh lantakkan akal, kebiasaan, sopan santun, bahkan peradaban umat. Bagaimana Nahdlatul Ulama memandang fenomena ini? Berikut wawancara singkat Wartawan Khidmah Zubairi El-Karim dan Abd Rafik, dengan Rais Syuriyah PBNU, KH. Masdar Farid Mas’udi.
Tontonan jadi tuntunan, tuntunan jadi tontonan, ini gejala apa kiai?
Sekarang ini kadang informasi menjadi tontonan, karena besarnya pengaruh media merasuki cara hidup umat Islam. Di sinilah diperlukan filter yang kuat untuk menghadapi samua itu.
Filternya apa kiai?
Ya, filternya adalah kearifan, terutama yang dihayati oleh para pemimpinnya, baik pemimpin agama, pemimpin politik, pemimpin negara, pemimpin suku, dan pemimpin rumah tangga (bapak-ibu). Menjadi pemimpin, salah satu sarat-rukunnya adalah memiliki “kearifan”. Dengan kearifan itulah kita bisa memilah mana yang layak untuk dibuka, dan mana yang tidak. Mana yang layak ditonton, diobral, dan yang tidak. Dengan jiwa kearifan pula kita bisa memilih waktu yang tepat untuk media tontonan kita.
Â
Bagaimana cara menerapkan filterisasi itu?
Sekarang ini, proses filterisasi tidak bisa lagi dengan cara pengisolasian. Karena informasi sudah sangat jauh masuk ke rumah-rumah, ke kamar-kamar penduduk. Karena itu, tak ada pilihan lain kecuali menyadarkan diri sendiri dan keluarga untuk memiliki ketahanan diri, memilah dan memilih mana yang penting dan bermanfaat untuk masa depan kita. Yang baik ya, diakses, yang tidak bermanfaat dan merugikan ya, dihindari. Ini harus diberitahukan dan diajarkan kepada keluarga, warga, dan umat.
Peran lembaga dan pendidik bagaimana, kiai?
Ya, tentu pendidik adalah penyampai informasi paling efektif, karena setiap hari mereka bertemu dan berhadapan langsung dengan peserta didik. Dengan bertemu secara face to face, tentu hasilnya diharapkan lebih mengena.
Juga diperlukan ketegasan emosi dan kearifan para pemimpin untuk melakukan sensor kolektif pada lingkungan. Mereka perlu memandang fenomena ini (tontonan jadi tuntunan, red.) sebagai bahaya dan berusaha untuk menghindarinya. Kita semua punya tanggung jawab untuk menyadarkan umat ini.
Untungnya, sekarang sudah semakin keluarga-keluarga yang melarang anak-anak nonton TV, kecuali pada hari-hari tertentu, misalnya pada hari libur saja. Kemudian, orang tua juga harus ikut memberi contoh, sehingga anak-anak tidak tercemar oleh informasi yang kurang mendidik. Dengan cara ini, efek negatif TV sudah makin terdistorsi.
Â
Apakah dengan begitu, kita perlu membuat media sendiri?
Ah, tidak harus begitu, yang penting adalah peran dan pembuktiannya. Artinya, siapapun bisa memainkan peran di media, baik kiainya, tokohnya, siapapun boleh melakukan hal apapun dan menjadikan apapun sebagai media dakwah keislaman dalam keluarga dan masyarakatnya masing-masing.
Â
Dulu, Wali Songo justru menjadikan tontonan menjadi tuntunan, pendapat kiai?
Ya, idealnya memang begitu. Tapi kan, sulit. Semua bentuk tontonan sejatinya memang bisa dijadikan ruh perjuangan. Namun, di era kita sekarang ini, para kapitalis menjadikan media sebagai alat meraih keuntungan semata; asal bisa mendatangkan iklan dan sponsor, apapun dilakukan. Itulah tantangan besar yang kita hadapi sekarang.
Â
Mengenai kecederungan munculnya tema-tema religius dalam sinetron atau film Indonesia, apakah ini termasuk tuntunan?
Ya, tema-tema religius itu baguslah sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan. Media itu ukurannya adalah pesan moralnya, apakah majalah, novel, internet, film, atau apapun namanya. Kalau tidak mampu menyampaikan pesan-pesan moral, ia menjadi tidak bernilai. Jadi, media itu tergantung pada substansi pesan yang terkandung di dalamnya; apakah memiliki pesan moral yang bermanfaat untuk umat atau tidak?
Â
Terakhir pesan kiai terhadap warga NU?
Pesan saya kepada warga NU, istiqamahlah dengan tema-tema kebajikan, hidupkan NU dengan merapatkan barisan Nahdliyyin, terutama agar kita lebih banyak bisa berbuat maslahat bagi Islam dan bagi Indonesia. (Zbr-Fik)