Kerja itu Ibadah
esoftHMD283x Buletin-khidmah Wacana
Merasa dirinya sangat miskin, seorang Ansar datang mengemis kepada Nabi. Setelah ditatap lekat-lekat, Nabi tahu orang itu masih kuat. Maka didorongnya ia untuk bekerja. “Apakah kamu punya sesuatu?”
“Demi Allah, saya tidak punya apa-apa, wahai Rasulullah, selain secarik kain untuk alas duduk dan alat penutup, serta sebuah bejana untuk minum.”
Laki-laki itu mengira Nabi akan menerima alasannya lalu memberi toleransi untuk mengemis. Ternyata tidak. Malah disuruhnya kain dan bejana itu dibawa kepada beliau, lalu dilelang kepada sahabat, dan laku dua dirham. Satu dirham disuruh belikan makanan untuk keluarganya, satu dirham disuruh belikan kapak.
“Berangkatlah ke lembah itu, jangan sisakan duri dan kayu kering di situ. Jangan datang ke sini selama lima belas hari ini,” begitu pesan Nabi.
Laki-laki itu pun berangkat. Termotivasi oleh petunjuk Nabi, ia bekerja penuh semangat, pantang lelah. Saat kembali kepada Nabi, ia sudah berkecukupan dan pulang ke keluarganya membawa kebaikan. Kemudian Nabi bersabda, “Ini jauh lebih baik daripada kau membawa masalah kelak pada hari kiamat berupa sebintik noda di wajah yang tak bisa dihapus kecuali dengan api neraka.”
Di waktu lain, saat datang dari Tabuk beliau disambut Sa‘d al-Anshari dan disalami.
“Kenapa tanganmu jadi kasar begini?”
“Aku bekerja dengan sekop, wahai Rasulullah, untuk menafkahi keluargaku.”
Nabi mencium tangan Sa‘d, lalu bersabda, “Inilah tangan yang tidak akan tersentuh api neraka.”
Dua kejadian di atas cukup memberi gambaran kepada kita bahwa bekerja merupakan bagian dari ibadah yang dapat menyelamatkan seseorang dari api neraka. Nabi mendorong kita bekerja. “Tidak ada makanan yang lebih baik dibanding makanan hasil jerih payah sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil keringat sendiri,” sabda beliau. Nabi Daud pandai besi, Nabi Ibrahim pedagang kain, dan Nabi Zakaria tukang kayu.
Karena itu, tak heran bila sahabat-sahabat beliau bertebaran mencari nafkah. “Sahabat-sahabat Nabi banting tulang bekerja di siang hari. Ada yang di pasar, ada yang di kebun,” tutur Abu Hurairah.
Dalam kitab Tanb?h al-Gh?fil?n disebutkan bahwa ibadah itu sepuluh: satu ada di ibadah murni, sembilan ada di kerja. Karena itu, Nabi tidak terima ketika melihat seorang pria berada di masjid di luar waktu shalat. Dan, setelah mengetahui niat orang itu, beliau mengajarinya doa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kepengecutan dan kebakhilan, dari lilitan hutang dan penundukan orang.” Beliau menuntun orang itu untuk berlindung kepada Allah sambil lalu bekerja, tidak malas, dan tidak berpangku tangan saja.
Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari dalam kitab al-Tanw?r f? Isq?th al-Tadb?r menyebut ada lima hikmah atau manfaat bekerja. Pertama, karena hati manusia tidak mampu melihat pembagian Allah dan kurang yakin kepada-Nya, maka dengan bekerja hatinya jadi kuat dan mantap kepada Allah. Kedua, menjaga kehormatan agar tidak terjerumus ke dalam praktik meminta-minta. Ketiga, kesibukan kerja dapat menghindarkan seseorang dari berbuat dosa. Keempat, dalam kerja terdapat rahmat dan karunia bagi para ahli ibadah dan hamba-hamba yang sibuk menyatukan diri dengan Allah. Kelima, kerja merupakan sarana untuk membangun persaudaraan dan menumbuhkan rasa saling cinta di antara mereka.
Rezeki harus dicari dan diminta kepada Allah dengan cara yang baik dan halal. Masih kata Ibnu ‘Athaillah, ada sepuluh sikap mencari rezeki yang baik. Pertama, tidak melalaikan Allah. Kedua, menyerahkan hasilnya kepada Allah, tanpa menetapkan target apa pun kepada-Nya. Ketiga, ketika meminta rezeki kepada Allah, hati dan pikiran tidak fokus kepada rezekinya, tetapi kepada munajatnya. Keempat, sadar bahwa jatah kita sudah ditetapkan oleh Allah. Rezeki yang kita terima, bukan karena berkat usaha dan doa kita, tetapi karena memang itulah yang ditetapkan Allah. Kelima, kita minta rezeki yang mencukupi, bukan yang melenakan. “Sedikit yang mampu kausyukuri lebih daripada banyak yang tak mampu kausyukuri,” sabda Nabi kepada Tsa‘labah. Keenam, meminta bagian kita di dunia, sesuai dengan firman Allah, ..Di antara mereka ada yang berdoa, ‘Tuhan, berikan kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta peliharalah kami dari siksa neraka.’ Ketujuh, meminta tanpa meragukan jatah yang diberikan Allah serta tetap menjaga diri dari segala sesuatu yang dilarang. Kedelapan, meminta tanpa menuntut segera dikabulkan. Kesembilan, meminta dan bersyukur kepada Allah jika diberi, dan menyadari pilhan terbaik-Nya jika tidak diberi. Kesepuluh, meminta kepada Allah agar kita berpegang pada pembagian-Nya yang telah ditetapkan, bukan pada permintaan kita (as-r).
Sumber: 1. Nizar Abazah, F? Mad?nah al-Ras?l, 2. Ibn ‘Athaillah al-Sakandari, al-Tanw?r F? Isq?t al-Tadb?r, dan 3. Syekh Nashr ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Samarkandi, Tanb?h al-Gh?fil?n.