Pesantren dan Hubungan Kiai dengan Santri
Asr222x Buletin-khidmah Wacana
Sudah banyak pengamat dan penulis, baik dari luar maupun dalam negeri, yang berusaha berbicara tentang pesantren. Suatu lembaga pendidikan khas yang dikenal sebagai tempat mencetak ahli-ahli agama (Islam). Istilahnya tafaqquh fiddiin.
Umumnya, para pengamat dan penulis tentang pesantren terlalu sederhana dalam pengamatannya dan menganggap bahwa jenis pesantren itu hanya satu. Memang secara umum, pesantren memiliki tipologi yang sama. Sebuah lembaga yang dipimpin dan diasuh oleh kiai dalam satu komplek yang bercirikan: adanya masjid atau surau sebagai pusat pengajaran dan asrama sebagai tempat tinggal para santri, di samping rumah tempat tinggal kiai, dengan kitab kuning sebagai buku wajib/buku pegangan.
Di samping ciri lahiriah itu, masih ada ciri umum yang menandai karakteristik pesantren, yaitu kemandirian dan ketaatan santri kepada kiai yang sering disinisi sebagai pengkultusan.
Kalau pun ada yang lebih teliti, paling-paling hanya menyinggung adanya dua model pesantren: tradisional (atau yang biasa disebut salaf) dan modern. Ini bisa dimaklumi, karena pengamatan biasanya hanya didasarkan kepada sampel beberapa pesantren yang galibnya diambil dari pesantren-pesantren terkenal. Padahal, meski mempunyai tipologi umum yang sama, pesantren juga sangat ditentukan karakternya oleh kiai yang memimpinnya.
Memang, lazimnya kiai pengasuh pesantren berasal dari jebolan pesantren pula. Dan kiai-kiai yang berasal dari jebolan pesantren yang sama, umumnya pesantren-pesantren yang kemudian mereka pimpin mempunyai kemiripan satu dengan yang lain. Namun harus diingat bahwa kiai-kiai itu tidak seluruhnya—bahkan kebanyakan ketika nyantri—tidak hanya pada satu pesantren. Pindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain.
Karakter dan kecenderungan pribadi kiai biasanya jarang dijadikan variable. Padahal, sebagai pendiri dan ‘pemilik’ pesantren (terutama yang salaf) dalam menentukan corak pesantrennya, pastilah tidak terlepas dari karakter dan kecenderungan pribadinya. Pesantren yang kiainya cenderung kepada politik, misalnya, tentu akan berbeda dengan pesantren yang kiainya tidak suka politik. Kiai yang sufi, corak pesantrennya berbeda dengan pesantren yang dipimpin oleh ‘kiai syariat’. (‘Kiai sufi’ dan ‘kiai syariat’ ini pun masih berbeda sesuai aliran masing-masing). Pesantren yang dipimpin oleh kiai ahli hikmah berbeda dengan pesantrennya kiai yang sama sekali tidak tertarik pada ilmu hikmah. Demikian seterusnya. Maka, meskipun ciri kiai/pesantren sama-sama ingin memberi manfaat kepada umat/masyarakat, kita bisa melihat tampilannya berbeda-beda.
Ada satu lagi yang luput dari pengamatan ‘orang luar’ (termasuk para pengamat); yaitu tentang hubungan kiai-santri. Khususnya kepatuhan santri terhadap kiai yang dianggap berlebih-lebihan, berbau feodal, pengkultusan, dsb. Ini pun bisa dimaklumi, karena mereka hanya melihat mazhahir luar, ditambah perilaku ikut-ikutan dari masyarakat santri yang tidak mengerti hakikat hubungan kiai-santri itu dan adanya ‘kiai-kiai baru’ yang memanfaatkan keawaman masyarakat tersebut.
Mazhahir luar saja itulah yang biasanya menjebak para pengamat dan menganggap bahwa kepatuhan santri kepada kiai merupakan sesuatu yang sengaja ditekankan di pesantren. Karena itu, ada yang sampai berkesimpulan bahwa kepatuhan yang ‘berlebih-lebihan’ ini merupakan gabungan dari dua hal, yaitu kepatuhan doktrinal dan kesadaran mitologis. Maksudnya, kepatuhan yang dibentuk oleh peraturan-peraturan pesantren dan kesadaran yang dibentuk oleh dan melalui konstruk pemikiran dengan memupuk kepercayaan-kepercayaan magis dan kekuatan-kekuatan adi-kodrati.
Pengamatan sederhana atau anggapan seperti itu merupakan gebyah uyah, generalisasi, dan secara tidak langsung mendiskreditkan kiai-kiai yang mukhlis, yang menganggap tabu beramal lighairiLlah, beramal tidak karena Allah tapi agar dihormati orang.
Pesantren salaf (yang lama) umumnya benar-benar milik kiainya. Santri hanya datang dengan bekal seadanya. Bahkan ada atau banyak santri yang untuk hidupnya pun ikut (nunut) kiainya. Boleh dikata kiai pesantren salaf seperti itu, ibaratnya mewakafkan diri dan seluruh miliknya untuk para santri. Beliau memikirkan,mendidik, mengajar, dan mendoakan santri tanpa pamrih. Bukan saja saat para santri itu mondok di pesantrennya, tapi juga ketika mereka sudah terjun di masyarakat.
Kiai Bisri Mustofa (almarhum), yang kebetulan ayah saya sendiri, sering diundang pengajian ke luar kota dan tidak jarang panitia memaksanya untuk mengisi pengajian pada hari-hari dimana pesantrennya tidak libur. Bila harus melakukan hal yang seperti itu, beliau selalu bermunajat kepada Allah sebelum naik mimbar: “Ya Allah,Engkau tahu hamba datang kemari karena diminta saudara-saudara hamba untuk menyampaikan firman-firmanMu dan sabda-sabda RasulMu; namun sementara hamba di sini, santri-santri hamba yang berada di pesantren terpaksa tidak hamba ajar. Oleh karena itu, ya Allah, apabila amal hamba disini ada pahalanya, hamba mohon tidak usah Engkau berikan kepada hamba; ganti saja pahala itu dengan kefutuhan (terbukanya hati) santri-santri hamba tersebut.”
Kiai Umar (almarhum), seorang haamilul Quran dari pesantren Mangkuyudan Sala, pernah meminta kepada lurah pondok pesantrennya untuk menuliskan daftar santri yang ternakal, agar ketika bertahajud dan mendoakan santri-santrinya, beliau bisa mengkhususkan doa beliau bagi santri-santri ternakal itu.
Kiai Maksum (almarhum) Lasem, bukan saja setiap waktu membangunkan santri-santrinya untuk salat dan belajar, mendoakan mereka setiap berdoa; namun kemana pun beliau pergi selalu menyempatkan berkunjung ke rumah santri beliau yang beliau lewati, sekedar untuk melihat keadaannya.
Kiai Ali Maksum (almarhum) Krapyak Yogya (satu-satunya kiai yang tidak dipanggil “Kiai” oleh santri-santrinya, tapi dipanggil “Bapak”), apabila punya acara (gawe) mantu atau apa saja, selalu mengundang santri-santrinya yang sudah berumahtangga dan selalu diembel-embeli tulisan tangan beliau sendiri seperti: “Ya, waladii Fulan, ojo lali lho!” (Hai anakku Fulan, jangan lupa ya!)
Beberapa kiai itu hanya sekedar contoh dari tradisi kiai bersama santrinya. Hampir semua kiai yang saya kenal, memiliki hubungan batin dengan santrinya sedemikian rupa, sehingga saya menganggap wajar apabila sikap santri terhadap kiai yang seperti itu mengesankan pengkultusan. Pak Ali Maksum adalah kiai saya yang --seperti juga ayah saya Kia Bisri Mustofa--tidak digdaya, tidak pernah menakut-nakuti santrinya dengan doktrin kuwalat atau mencekoki dengan semacam maqalah “Ana ‘abdu man ‘allamanii walau harfan waahidan” (Aku adalah budak orang yang mengajariku meski hanya satu huruf). Pesantrennya tidak memiliki aturan harus menghormat kiai. Saya sering diajak diskusi, diminta membantah beliau bila dilihatnya saya tidak setuju dengan pendapat beliau. Namun sebagai santrinya, saya menghormatinya secara khusus. Tak peduli orang lain akan menganggap saya mengkultuskannya.
Waba’du; saya masih berkeyakinan bahwa sampai saat tertentu, pesantren—secara umum—bukan saja merupakan lembaga pendidikan khas , tapi juga lembaga pendidikan yang sebenar-benarnya. Maksud saya, lembaga yang benar-benar mendidik, tidak sekedar mengajar. Mendidik atau tarbiyah memang merupakan prioritas pesantren. Bahkan karenanya–dahulu—banyak pesantren yang tidak begitu perhatian terhadap metode pengajaran (ta’lim).
Dulu, rata-rata pesantren hanya mengenal metode pengajaran (ta’lim) model: (1). Bandongan, yakni kiai yang aktif membaca kitab dan para santri mendengarkan sambil menulis makna lafal-lafal sesuai yang didengar dari sang kiai, di dalam sebuah halaqah (santri mengelilingi sang kiai); dan (2). Sorogan, yakni santri yang aktif membaca kitab, kadang menuliskannya, dan menerangkannya di depan kiai. Tidak ada kelas, kurikulum, atau silabus. Tingkat-tingkat biasanya hanya ditentukan oleh kitab-kitab yang diajarkan; misalnya untuk Nahwu dan Fikih, dimulai dari tingkat Jurumiyah (kitab dasar nahwu) dan Sullam-Safinah (kitab dasar fikih), tingkat ‘Imrithy dan Taqrieb, tingkat Alfiyah dan Fathul Mu’ien, tingkat Ibnu ‘Aqiel dan Fathul Wahhab, dst.
Karena itu, pesantren dikritik habis-habisan dari sisi pengajaran atau ta’lim yang terkesan tidak kenal metode didaktik ini. Dan pesantren pun ‘bangkit’ membenahi sistem pengajarannya. Kini, hampir semua pesantren memiliki madrasah, sekolah yang berjenjang, memiliki kelas-kelas, berkurikulum, bersilabus, ada direktur atau kepala sekolah, dan dewan guru, bahkan banyak yang berstatus (mulai dari status “diakui”, “disamakan”, hingga “direstui”). Bahkan tidak sedikit pesantren yang memiliki perguruan tinggi.
Nah, hal ini bukan tidak berdampak pada jatidiri pesantren. Ada—kalau tidak banyak—pesantren yang setelah memiliki sistem pengajaran (ta’lim) yang baik dan rapi, kemudian agak atau sama sekali mengabaikan sisi pendidikan (tarbiyah)-nya. Boleh jadi karena semuanya sudah ada yang mengurus; ngaji atau belajar sudah ditangani direktur dan dewan guru, pesantren sudah ada lurah dan pengurus pondok, kiainya pun tinggal duduk manis, menunggu laporan atau cari kegiatan-kegiatan lain di luar.
Mudah-mudahan tidak banyak yang demikian atau minimal tidak semua mengabaikan ciri khas awal pesantren. Yakni pendidikan atau tarbiyah. Kalangan terpelajar –yang kurang didikan, tidak mendapatkan tarbiyah yang baik—ternyata bukan saja tidak mampu memecahkan masalah-masalah negeri ini, tapi malah sering kali menimbulkan masalah.
Negeri ini sungguh memerlukan orang-orang yang tidak hanya terpelajar, tapi sekaligus terdidik. Pesantren dan apa yang disebut lembaga pendidikan lainnya, seharusnya benar-benar mencurahkan perhatian kepada dua-duanya: pengajaran dan pendidikan, ta’lim dan tarbiyah sekaligus. Tidak mengabaikan salah salah satunya.
Â
Artikel ini pernah diposting di gusmus.net pada 11 Mei 2006 dengan judul “Pesantren dan Pendidikan”. Diterbitkan kembali oleh Khidmah setelah mendapat izin dari penulis (Gus Mus).