Pesantren: Ruh Pendidikan Sepanjang Hayat
NUOnline278x Wacana
Oleh Fathoni Ahmad
Matahari tidak pernah berhenti menyinari alam semesta meskipun mendung. Jika pun alam bergerak menggelap, itu hanya tertutup mendung dan awan. Namun pada hakikatnya, matahari tetap bersinar. Semangat ini tidak pernah pudar bagi Pendidikan Islam untuk selalu menyinari dunia dengan mencetak manusia berakhlak mulia nan cerdas dari generasi ke generasi.
Pendidikan Islam berupaya mengangkat perjuangan para santri dan siswa madrasah untuk selalu memumpuk mimpi agar terus bersinar meskipun berbagai hambatan kerap kali datang. Ini membuktikan, selain memiliki kecerdasan akal dan nurani, generasi pendidikan Islam juga mempunyai mental kokoh untuk bergelut dengan perubahan zaman yang makin tak terbendung kemajuannya.
Potensi yang ada pada diri setiap santri dan siswa madrasah harus mampu menyinari diri di setiap usaha yang dibangun sehingga mimpi dapat mudah terwujud. Dalam hal ini, filosofi matahari yang tak pernah berhenti bersinar harus menjadi palu godam ampuh bagi generasi pendidikan Islam untuk meraih mimpi dan cita-cita setinggi langit demi mengabdi pada negeri.
Historisitas bangsa Indonesia tidak terlepas dari jasa menawan para generasi pendidikan Islam, terutama pesantren. Karena lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia ini terbukti mampu mencetak tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, sebut saja Pangeran Diponegoro, RA Kartini, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Abdul Wahid Hasyim, HOS Tjokroaminoto, Buya Hamka hingga tokoh fenomenal KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur.
Tokoh-tokoh tersebut tidak hanya para pemikir, tetapi juga penggerak perubahan di tengah masyarakat. Pandangan mereka mampu menembus batas tebalnya zaman yang kerap tidak pernah terpikirkan oleh orang pada umumnya. Di titik inilah membumikan mimpi mempunyai peran penting untuk mengikuti jejak para founding fathers dalam menuntun zaman ke arah yang lebih harmonis sekaligus humanis.
Para tokoh pendidikan Islam tidak hanya menginspirasi perjuangan para anak bangsa untuk meraih mimpi, tetapi juga menunjukkan bahwa pemerintah turut memiliki peran besar melalui berbagai layanan pendidikan dalam bentuk beasiswa yang dapat diakses oleh anak-anak negeri hingga meraih pendidikan setinggi-tingginya. Fasilitas pemerintah ini membutuhkan kerja keras dan cerdas dari para generasi muda untuk bisa mengaksesnya.
Cukuplah para pejuang dan generasi emas yang lahir dari pendidikan Islam dapat membumikan mimpi anak bangsa. Modal berharga yang amat dibutuhkan untuk membumikan mimpi tidaklah mudah, namun juga tidak sulit. Karena semangat dan kemauan yang tinggi untuk maju sangat diperlukan oleh generasi muda dalam rangka menyinari potensi menjadi kebanggaan negeri.
Pesantren: life long education
Pola pendidikan pesantren tidak terbatas waktu, karena ia memahami sekaligus menerapkan prinsip thuluz zaman (berkelanjutan). Dalam teori pendidikan modern, konsep ini dikenal dengan pendidikan sepanjang hayat (life long education). Konsep ini mempunyai makna bahwa pendidikan tidak sebatas yang ada di kelas, memahami materi pelajaran, dan mampu melahap soal-soal ujian.
Namun, pendidikan sepanjang hayat membuat anak didik tidak pernah berhenti belajar di mana pun ia berada dan kapan pun dia melihat peristiwa sebagai dasar pembangun rasionalitas-ilmiahnya. Anak didik mungkin dengan gampang memahami bahwa satu ditambah satu sama dengan dua. Tetapi, apakah mereka mengerti makna dari perhitungan ilmiah tersebut? Bagaimana guru atau pendidik agar fakta ilmiah tersebut bermakna (meaningful) bagi peserta didik?
Di titik itulah rasionalitas ilmiah harus dibangun dengan moral kokoh melalui pendidikan bermakna. Mereka harus dipahamkan bahwa dua merupakan hasil dari penjumlahan satu ditambah satu, tidak kurang atau pun lebih. Artinya, generasi bangsa perlu dididik kejujuran sehingga tidak mudah terpengaruh perilaku korup yang sering menambah atau mengurangi jumlah. Tentu ini karakter sederhana yang perlu terus menerus dievaluasi kepada anak didik, meskipun pada praktiknya banyak pendidik yang menemukan kesusahan.
Lalu, apa korelasinya dengan prinsip thuluz zaman-nya pesantren? Penulis ingin menyampaikan bahwa pendidikan pesantren tidak sebatas memahami kitab dan berbagai literatur klasik, tetapi juga mampu memberi makna dan mempraktikannya di tengah kehidupan masyarakat yang plural. Dalam hal ini, pesantren sering kali disebut sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang mampu mendidik santri akan keberagaman bangsanya sehingga muncul sikap toleransi tinggi dan nasionalisme yang kokoh.
Pesantren juga tidak memposisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan menara gading, artinya tertutup bagi masyarakat dan jauh dari hiruk-pikuk kehidupan mereka. Pesantren membangun koloni dengan tradisi dan budaya masyarakat, tidak soliter sehingga lulusan pesantren tidak akan mudah tercerabut dari akar sosial masyarakatnya. Karakter ini diperlukan dalam dunia pembangunan karena sudah barang tentu lulusan pesantren akan dengan mudah membangun masyarakatnya sebab memiliki ikatan sosial yang kuat.
Itu bukti bahwa pendidikan pesantren mampu menciptakan generasi pembelajar sepanjang hayat sebagai buah dari konsep thuluz zaman. Belajar dari pesantren, dunia pendidikan Indonesia hendaknya tidak lepas dari akar tradisi dan budaya masyarakatnya. Ini penting untuk mewujudkan generasi yang mampu memberikan solusi konkret terhadap setiap persoalan yang melilit masyarakat. Tidak dengan konsep dan teori yang terlalu mengawang-awang. Apalagi dengan ceramah kosong yang hanya berisi hujatan dan larangan terhadap tradisi dan budaya yang jelas-jelas menciptakan harmoni di tengah kehidupan masyarakat.
Pesantren dan pendidikan Islam pada umumnya memandang bahwa sasaran ilmu agama tidak lain adalah masyarakat sehingga pemahaman agama harusnya tidak bersifat tertutup (eksklusif) melainkan harus terbuka atau inklusif terhadap segala yang berkembang di tengah masyarakat. Eksklusivisme hanya akan membuat agama Islam sebagai rahmat dengan mudah akan tertolak oleh masyarakat. Sehingga alih-alih membuat masyarakat sadar akan limpahan rahmat Tuhannya, yang terjadi justru bersikap apatis terhadap agamanya. Ini poin penting agar lembaga pendidikan sebagai pencetak generasi masa depan agar tidak menjauhkan diri dari akar sosial masyarakatnya.***
Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta.
Sumber