Jalan Mudah menuju Tuhan
esoftHMD332x Buletin-khidmah Wacana
Ahmad Sahidah
Berasal dari Lenteng Sumenep, kini menjadi dosen Filsafat dan Etika di Universitas Utara Malaysia
Â
Jalan mudah di atas memiliki dua pengertian. Pertama, umat bisa melakukan sesuatu dengan jalan pintas agar direlai oleh Tuhan. Kedua, umat tidak sulit untuk menjadi hamba-Nya yang saleh. Jika dalam keadaan sakit, kita bisa melakukan shalat dengan hanya bertelekan tilam, tanpa harus berdiri. Sesungguhnya agama itu adalah anugerah untuk manusia, bukan beban. Untuk itu, pernyataan John Lennon, penyanyi legendaris asal Inggris, bahwa andai tidak ada agama maka dunia ini akan damai, justru akan memantik kegundahan, karena jutaan orang masih memercayainya. Tetapi, mereka harus memilih yang mana?
Â
Sementara, mereka yang mengambil jalan mudah tanpa bersusah payah untuk mendapatkan kerelaan sang Mahakuasa hakikatnya ada masalah lain yang perlu diurai. Para pelaku kekerasan, misalnya, melakukan pengeboman dengan korban acak, bukan kombatan. Ini jelas-jelas dilarang dalam tradisi Nabi. Apalagi, mereka menafsirkan perintah Tuhan agar umat menunjukkan sebagai Muslim (fasyhad? biann? muslim?n) dengan menyerang orang yang dianggap kafir nyata-nyata mengambil sepotong dari keseluruhan pesan utuh tentang bagaimana menjadi Muslim menurut al-Qur’an. Tak hanya itu, mereka mengakhiri hidup untuk segera menagih janji Tuhan tentang bidadari yang akan dihadiahkan, tanpa memahami apa sesungguhnya makhluk yang bergelar h?run ‘?n itu.
Â
Bagaimanapun, kita harus menyusun kembali pemahaman tentang kemudahan dan kesusahpayahan itu. Kemudahan itu bermakna bahwa untuk mendapatkan ketenangan manusia tidak diperintahkan melakukan sesuatu di luar kemampuan alamiahnya. Janji Tuhan bahwa mereka yang bangun malam demi menunaikan shalat tahajud akan diberi tempat yang mulia dan rezeki tak disangka-sangka tidak dengan sendirinya dipahami dengan kedudukan dalam jabatan publik dan segepok uang dan harta melimpah. Ketika tubuh sedang lena, bangun malam merupakan kemenangan batin. Dengan demikian, kehendak tubuh yang cenderung ingin memenuhi hal bendawi telah tunduk pada kehendak jiwa yang murni, sebagai pintu masuk untuk memeroleh kesentosaan.
Â
Pesan Utama
Â
Kita beribadah untuk mendekatkan diri pada Ilahi. Dengan melantunkan zikir, kita mengingat, Allah melalui doa-doa dari hati yang paling dalam. Dari ikhtiar ini, kita bisa meraih ketenangan dan ketentraman. Tapi, kadang ini tak mudah. Betapa banyak orang yang melangkahkan kaki ke tempat ibadah, tapi pada waktu yang sama mengabaikan tanggung jawab kemanusiaan pada sesama dan kelestarian lingkungan. Mengandaikan cita-cita sebuah ‘bentuk negara Islam’ yang dianggap sesuai perintah Tuhan, kemudian pada waktu yang sama membunuh banyak orang dan merusak lingkungan, jelas merupakan ttindakan melawan pesan utama kitab suci.
Â
Untuk itu, Nabi menegaskan bahwa tidak disebut shalat jika ia tidak bisa mencegah kemungkaran dan kejahatan. Jadi, kesalehan tidak bisa dilihat dari ibadah yang dilakukan di rumah Tuhan semata-mata, tetapi juga memendar pada prilaku santun, tepa selira, dan terukur dalam berhubungan dengan orang lain. Niat baik untuk menegakkan tatanan yang dikehendaki Tuhan dengan cara merusak jelas tidak bisa disebut memperjuangkan prinsip-prinsip utama ajaran Tuhan tentang nilai-nilai dan martabat kemanusiaan sebagai tujuan syari’ah.
Â
Untuk itu, jalan mudah tersebut terkait dengan kemungkinan setiap orang untuk menjalani agama tanpa mengaitkannya dengan kedudukan, kekayaan, dan status sosial. Tetapi, untuk meraih kerelaan Tuhan, kita harus bersusah payah. Sebab, musuh itu justru berada di dalam cermin. Setiap diri kita sedang melawan nafsu sendiri, karena lawan yang dianggap monster itu adalah wujud dari rekonstruksi pikiran kita sendiri. Tentu saja, kemungkinan salah memahami sosok lawan itu terbuka. Namun, akal sehat harus menjadi pemandu agar pikiran tak sesat lalu melahirkan tindakan konyol. Tugas manusia sebagai khalifah adalah merawat manusia. Adalah bacul apabila mereka ingin mengubah manusia ke arah yang lebih baik dengan cara membunuh dan merusak alam tempat mereka menyuburkan kebajikan.
Â
Titik mula
Â
Bagaimana menanamkan nilai-nilai murni agama agar ungkapan keagamaan tidak menjadi wujud keputusasaan? Keluarga, sekolah, dan kehidupan masyarakat sejatinya adalah tempat untuk memenuhi kehendak ini. Semua ini adalah ruang tempat kita menyemai kebaikan (mahmudah) dan mengelak kejelekan (madzmumah). Selain itu, menurut Neil Postman, dalam Matinya Pendidikan: Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah, pendidik itu adalah keadaan politik. Sayangnya, yang terakhir ini lebih cenderung menampakkan sinisme. Untuk itu, kita memerlukan narasi lain.
Â
Sebagaimana diterakan dalam kredo Islam, tiada tuhan selain Allah, dalam kehidupan nyata kita mengenal banyak tuhan yang disembah oleh manusia. Neil Postman mengemukakan bahwa dalam masyarakat ada tuhan Kemanfaatan Ekonomi. Ia adalah tuhan yang tidak memiliki perasaan, dingin, dan keras. Sosoknya tak bisa dipandang remeh, karena ia memberi janji kenyamanan. Tambahan pula, tuhan Konsumerisme menegaskan bahwa siapa yang mati dengan mainan terbanyak, dialah sang pemenang. Artinya, kebaikan itu melekat pada orang yang membeli, sedangkan kejahatan melekat pada mereka yang tidak bisa membeli.
Â
Celakanya, tuhan-tuhan inilah yang disembah di keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Di rumah televisi menempati ruang utama dalam hubungan antaranggota keluarga. Iklannya telah menyihir penonton dan mengarahkan tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah juga tak luput dari cengkeraman tuhan Kemanfaatan Ekonomi. Kehadiran anak didik lebih dilihat pada kemampuan menjawab soal-soal ujian dan dijanjikan akan bergaji bagus nanti setelah lulus. Lebih parah lagi, di luar kelas, anak-anak itu dihadapkan pada hiruk-pikuk orang-orang yang sedang mencari jati diri dengan beradu kekuatan, kekayaan dan kekuasaan.
Â
Nah, apa yang tersisa dari ruang kehidupan yang masih memungkinkan kita untuk berharap? Jwabannya surau atau masjid. Benteng terakhir inilah yang menyediakan jalan agar orang tua dan anak-anak menemukan tempat untuk tidak terperangkap pada janji-janji manis tuhan-tuhan di atas. Di tengah keterasingan yang menyergap warga masyarakat, orang-orang dapat menyemai hubungan manusiawi yang akrab dengan tetangganya ketika mereka berjumpa di surau. Demikian pula, anak-anak mereka tak harus berasyik masyuk dengan mainan mahal. Dengan datang ke masjid, sungguh mereka telah belajar kesalehan, tanpa harus merogoh uang dan mengalami tekanan karena dihantui ujian nasional yang menakutkan.
Â
Bagaimanapun, surau adalah oase terakhir yang perlu mendapatkan perhatian. Tentu saja, ia bukan sekadar tempat shalat, pengajian, dan pembelajaran, tetapi juga tempat berkesenian. Untuk yang terakhir, di banyak tempat saya menemukan para pengurus masjid secara kreatif mengembangkan seni hadrah. Di sana, para remaja dan anak-anak diperkenalkan pada musik dan lagu yang berurusan dengan kecintaan pada Rasul. Tambahan lagi, dengan alat sederhana mereka tak memedulikan kecanggihan bunyi, sebagaimana instrumen elektrik. Musik lebih berfungsi hanya sebagai pengiring lagu, bukan sebaliknya. Dengan kesenian hadrah ini, mereka belajar meraup kenikmatan tanpa harus membeli, tetapi ampuh untuk merawat hati.
Â
Sabtu, 20 April 2013 09:16 AM.