Tahlil 7 dan 40 Hari - Adakah Dalilnya?
Asr403x Bhatsul-masail
PERTANYAAN
Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita mengadakan tahlil selama 7 hari pasca kematian. Begitu juga tahlil hari ke-40, 100, dan seterusnya. Apakah penentuan hari-hari tersebut ada dasarnya dalam syariat Islam?
JAWABAN
Membaca tahlil atau bersedekah pada hari-hari tersebut memiliki dasar yang kuat dalam syariat Islam. Bahkan tahlil dan bershadaqah untuk mayyit dianjurkan sejak hari pertama, sesuai hadits Nabi SAW: "Tidak datang kepada mayyit (ujian) yang lebih berat daripada malam pertama. Maka kasihilah mayyit dengan bersedekah untuknya."
Telah dimaklumi, saat mengadakan tahlil, masyarakat biasanya bersedekah (semampunya) dengan memberikan hidangan kepada jamaah. Pahala sedekah ditujukan untuk si mayit.
Sedangkan dasar tahlil pada hari ke-7 dan 40, ialah hadits riwayat sahabat Ubaid bin Umair:
يُفْتَن رجُلانِ مُؤمِنٌ ومُنافِقٌ. فأمّا المؤمِنُ فيُفْتَنُ سَبْعًا, وأمّا المنافِقُ فيُفْتنُ أرْبَعِيْنَ صباحًا
Artinya: Ada dua orang yang akan diuji (di alam kubur), yakni orang mukmin dan munafik. Orang mukmin diuji selama 7 hari, sedangkan orang munafik diuji selama 40 hari.
Hadits ini diperkuat oleh hadits marfu' riwayat Imam Thawus bin Kaisan:
إنَّ الموتَى يُفْتَنُوْنَ في قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ الآيَّامَ
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia itu diuji (ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir) selama 7 hari di dalam kubur. Lalu mereka (para shahabat dan tabi'in) bersedekah makanan selama 7 hari (yang pahalanya ditujukan) kepada orang yang wafat.” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal. 178 dan ad-Durr al-Mantsur 5/38)
Dalam kitab al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra karya Ibnu Hajar al-Haitami disebutkan: "Kaum Muslimin telah melakukan kebiasaan itu (bersedekah pada hari ke 7 dan 40) sejak masa Rasulullah SAW, sedangkan Rasul mengetahui (taqrir) atas kebiasaan tersebut. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa seluruh sahabat melakukannya. Jika demikian, berarti tradisi tersebut menjadi ijma’. Versi ketiga mengatakan, hanya sebagian sahabat yang melakukannya dan tidak ada yang mengingkari. Berarti ia menjadi ijma' sukuti.
Tiga pendapat di atas pada dasarnya mengakui bahwa tradisi itu sudah terjadi sejak zaman Nabi SAW, terlepas apakah semua sahabat atau sebagian saja yang melakukannya. Al-Hafidz as-Suyuthi mengatakan: "Tradisi itu terus berlangsung di Mekah dan Madinah hingga zaman kami (zaman Imam Suyuthi, sekitar abad ke 11). Kemudian generasi-generasi berikutnya mengambil amalan ini dari pada ulama salafush shaleh. Bahkan di dalam kitab-kitab sejarah (tarikh) disebutkan, umat Islam (pada masa itu) banyak yang berkumpul di kuburan selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’." (Lihat Al-Hawi lil Fatawi juz 3 hal 266-288).
Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan: "Nashr al-Maqdisi wafat pada hari Selasa, 9 Muharram 490 Hijriyyah di Damaskus, lalu kami menetap di makamnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an sebanyak 20 khataman." Bahkan ada yang mengkhatamkan al-Qur'an selama 40 hari.
Mengenai tahlil satu tahun (haul), itu didasarkan pada kebiasaan Nabi dalam hadist berikut: "Setiap tahun sekali (haul), Nabi SAW berziarah ke makam para syuhada’ Perang Uhud. Ketika Nabi saw. sampai di suatu tempat bernama Syi’b, beliau berseru: Semoga keselamatan tercurahkan bagi kalian atas kesabaran kalian (para syudaha’). Alangkah baiknya tempat kembali di akhirat.” Kemudian Abu Bakar juga melakukannya. Demikian juga Umar bin Khatthab ra. dan Utsman bin Affan ra. (H.R. Baihaqi)
Kesimpulannya, tradisi bersedekah, berzikir, atau mengkhatamkan al-Qur'an selama 7 hari dan 40 hari, merupakan warisan budaya dari para sahabat dan tabi'n, yang pernah dilihat & diakui keabsahannya oleh Rasulullah SAW.
Tradisi tersebut kemudian dibawa ke Indonesia oleh para ulama, khususnya Wali Songo, untuk menggantikan tradisi lama yang penuh kemungkaran (seperti tradisi Ngaben atau membakar mayat).
Bukan Tradisi Hindu
Jika ada orang menuduh bahwa tradisi tahlil itu berasal dari budaya Hindu, maka tuduhan itu salah besar dan sudah terbantahkan oleh hadits-hadits di atas. Bahkan, tahlilan pada hari-hari tertentu sangat dianjurkan, jika bertujuan untuk melawan kemusyrikan. Dalam hadits riwayat Ibnu Mas'ud ra, Rasulullah SAW bersabda: "Orang yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai, sederajat dengan orang yang bersabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan perang. Dan orang yang berzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai, laksana pohon rindang di tengah-tengah pohon yang daunya berguguran. (HR. at-Thabrani).
Artinya, jika umat Hindu melakukan kemusyrikan pada hari-hari tertentu (seperti Ngaben), maka Umat Islam hendaknya mengerjakan amal kebaikan pada hari yang sama (seperti zikir-tahlil), dengan tujuan untuk menghapus kemusyrikat itu. Kesamaan waktu tidak menjadi masalah, selama ritual-ibadahnya berbeda. Dalam hadits riwayat Ummu Salamah ra disebutkan: Rasulullah SAW sering berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain. (Ketika ditanya), Rasulullah SAW bersabda: "Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik. Aku senang menyelisihi mereka." (HR. Ahmad, al-Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).
Telah kita maklumi, hari Sabtu adalah hari libur umat Yahudi. Sedangkan hari Ahad adalah hari libur umat Nasrani. Lalu Rasulullah SAW menyelisihi mereka dengan berpuasa di hari yang sama. Berarti, puasa yang dilakukan Rasulullah SAW adalah "perlawanan kultural" terhadap kebiasaan kaum Musyrik pada hari-hari tersebut.
Ini sama dengan kaum Muslimin Indonesia. Umat Hindu mengisi 7 hari kematian dengan kemusyrikan (membakar jasad orang mati yang merupakan penghinaan kepada si mayit), kaum Muslimin mengisinya dengan zikir-tahlil sebagai penghormatan kepada si mati. Ini namanya perlawanan kultural. Sama harinya tapi beda isinya.
Hakikat Tahlil
Secara bahasa, tahlil artinya membaca la ilaha illalLah. Kemudian, tahlil di Indonesia diartikan sebagai: "Doa atau zikir yang memuat bacaan la ilaha illalLah, yang pahalanya ditujukan kepada orang yang sudah wafat." Berarti setiap doa atau zikir yang mengandung bacaan la ilaha illalLah, semua itu hakikatnya adalah tahlil.
Selain bacaan la ilaha illalLah, tahlil juga memuat doa-doa yang diambil dari ayat Al-Qur’an dan kalimat thayyibah seperti takbir, tasbih, shalawat, dll. Banyak sekali hadits yang menunjukkan keutamaan bacaan-bacaan tersebut.
Tahlil disusun sedemikian rupa, agar semua orang (alim dan awam) bisa mengikutinya dengan mudah. Tidak ikut tahlil tidak apa-apa. Tidak bersedekah makanan kepada jamaah tahlil juga tidak berdosa. Akan tetapi, ikut tahlil dan memberi sedekah itu lebih utama.
Jika ada yang menganggap tahlil itu seakan-akan wajib karena sudah menjadi tradisi, maka itu anggapan yang salah. Tapi jangan salahkan tahlilnya. Karena tahlilnya tidak salah. Salahkan orangnya. Luruskan persepsinya. Sampaikan bahwa tahlil itu tidak wajib. Tapi tahlil juga tidak haram, karena ia merupakan tradisi luhur para sahabat, tabi'in, dan ulama. Tidak ada satu pun dalil sharih yang mengharamkan tahlil. Yang ada justru dalil sharih yang membolehkan tahlil.
Tahlil bisa dibaca kapan saja dan di mana saja, bukan hanya hari ke-7, 40, atau 100. Tahlil bisa dibaca sendiri-sendiri atau berjamaah. Membaca tahlil secara berjamaah itu lebih utama, sesuai dengan anjuran Rasulullah: "Jika kalian bertemu taman surga, maka bergabunglah!" Para sahabat bertanya: "Wahai Rasul Allah, apa (yang dimaksud) taman surga itu?" Nabi menjawab: "Perkumpulan zikir."
Dalam hadits lain dikatakan: "Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang ditugaskan berkeliling mencari majlis zikir. Jika mereka menemukan majlis zikir, maka para malaikat duduk bersama jamaah sambil mengepakkan sayapnya hingga memenuhi angkasa. Ketika majlis zikir itu bubar, para malaikat terbang ke langit. Kemudian Allah Swt bertanya kepada mereka (padahal Allah Lebih Mengetahui): "Dari mana kalian?" Para malaikat menjawab: "Kami datang dari tempat hamba-hamba-Mu yang bertasbih, bertahlil, dan berahmid"—dalam riwayat Imam Bukhari ada tambahan—"yang mengagungkan-Mu dan berdoa kepada-Mu."
Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan:
ويُستفاد مِن هذا الحديثِ أيضا: أنّ المقصودَ مِن الذِكرِ هو ما فسّرتْه الملائكةُ مِن التسبيحِ والتهليلِ والتحميدِ, وليس المرادُ العلمَ كما يَظنُّه بعضُ المسلمينَ.
Artinya: "Dari hadits ini dapat dipahami pula bahwa yang dimaksud 'majlis zikir' ialah majlis tempat membaca tasbih, tahlil, dan tahmid, sesuai penjelasan para malaikat tadi. Bukan majlis ilmu, sebagaimana pemahaman sebagian kaum Muslimin."
Kesimpulannya, tahlil adalah tradisi Islami yang memiliki landasan dalil yang kuat di dalam syariat Islam. Bahkan tahlil merupakan tradisi turun temurun sejak masa shahabat hingga kini. Jika ada orang yang menuduh tahlil itu bid'ah dan meniru budaya Hindu, maka tuduhan tersebut sebenarnya disebabkan oleh tipisnya pemahaman sejarah dan miskinnya referensi para penuduhnya. WaLlahu a'lam.
REFERENSI UTAMA
الفتاوى الكبرى الفقهية لابن حجر الهيتمي 2-30
وَسُئِلَ فَسَّحَ اللَّهُ في مُدَّتِهِ: "إنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ في قُبُورِهِمْ" أَيْ يُسْأَلُونَ "سَبْعَةَ أَيَّامٍ" هل له أَصْلٌ؟ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ: نعم له أَصْلٌ أَصِيلٌ. فَقَدْ أَخْرَجَهُ جَمَاعَةٌ عن طَاوُسِ بِالسَّنَدِ الصَّحِيحِ وَعُبَيْدِ بن عُمَيْرٍ بِسَنَدٍ احْتَجَّ بِهِ, وابن عبد الْبَرِّ, وهو أَكْبَرُ من طَاوُسِ في التَّابِعِينَ, بَلْ قِيلَ إنَّهُ صَحَابِيٌّ لِأَنَّهُ وُلِدَ في زَمَنِهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم ....إلي أن قال..... وَحُكْمُ هذه الرِّوَايَاتِ الثَّلَاثِ حُكْمُ الْمَرَاسِيلِ الْمَرْفُوعَةِ ....إلي أن قال.... وَالْمُرْسَلُ حُجَّةٌ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ وَكَذَا عِنْدَنَا إذَا اعْتَضَدَ. وقد اعْتَضَدَ مُرْسَلُ طَاوُسِ بِالْمُرْسَلَيْنِ الْآخَرَيْنِ بَلْ إذَا قُلْنَا بِثُبُوتِ صُحْبَةِ عُبَيْدِ بن عُمَيْرٍ كان مُتَّصِلًا لِلنَّبِيِّ صلى اللَّهُ عليه وسلم ....إلي أن قال.... وَمِنْ ثَمَّ صَحَّ عن طَاوُسِ أَيْضًا "أَنَّهُمْ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عن الْمَيِّتِ تِلْكَ الْأَيَّامَ". وَهَذَا من بَابِ قَوْلِ التَّابِعِيِّ:" كَانُوا يَفْعَلُونَ". وَفِيهِ قَوْلَانِ لِأَهْلِ الحديث وَالْأُصُولِ. أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَيْضًا من بَابِ الْمَرْفُوعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ كان الناس يَفْعَلُونَ ذلك في عَهْدِ النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عليه. وَالثَّانِي أَنَّهُ من بَابِ الْعَزْوِ إلَى الصَّحَابَةِ دُونَ انْتِهَائِهِ إلَى النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم. وَعَلَى هذا قِيلَ إنَّهُ إخْبَارٌ عن جَمِيعِ الصَّحَابَةِ فَيَكُونُ نَقْلًا لِلْإِجْمَاعِ. وَقِيلَ عن بَعْضِهِمْ وَرَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ في شَرْحِ مُسْلِمٍ وقال الرَّافِعِيُّ مِثْلُ هذا اللَّفْظِ يُرَادُ بِهِ أَنَّهُ كان مَشْهُورًا في ذلك الْعَهْدِ من غَيْرِ نَكِيرٍ.
REFERENSI LAIN
- Siyar as-Salaf as-Shalihin (1/827) li Isma’il bin Muhammad al-Ashbihani (w. 535 H)
- Al-Mathalib al-‘Aliyah (5/328) li al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H)
- Al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) li al-Imam ash-Shafadi (w. 764 H)
- Al-Hawi li al-Fatawi (2/169) li al-Hafidz Jalaluddin bin Abdirrahman as-Suyuthi
- Bughyatul Mustarsyidin, Al-Hidayah Surabaya, Bab Musha Bih (Mas'alah Syin), hal 195-196.
- Qurrah al-'Ain bi Fatawi Isma'il Zain al-Yamani hal 175
- Syarah Shahih Muslim (3/444) li Abi Zakariya Yahya bin Syarf an-Nawawi
- Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah li Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali
- Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ li Abi Nu’aim al-Ashbahaniy
- Ithaful Khiyarah (2/509) li Syihabuddin Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiriy al-Kinani (w. 840)
- Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid (5/159) li Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807
- Kanzul ‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al li ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiri asy-Syadzili (w. 975 H)
- Thabaqat al-Kubra (4/21) li Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H)
- Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur
- Syarh as-Suyuthi ‘ala Shahih Muslim dan Hasyiyah as-Suyuthi ‘ala Sunan an-Nasaa’i
- Tafsir ad-Durr al-Mantsur li Jalaluddin as-Suyuthi (5/38).
- Nihayatus Zain, Hasyiah as-Sittin, dan ar-Rasa'il.
- Al-Ma’rifat wa at-Tarikh (1/110) li Abi Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H)
- Tarikh Baghdad (14/320) li Abi Bakr Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H)
KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL
MWC NU PRAGAAN SUMENEP
Di Masjid Al-Mishbah
Batujaran Laok, Pragaan Daya
Hari Ahad, 18 Oktober 2015
Pukul 09.00 s/d 12.30 WIB