Sesal Kelabu
esoftHMD321x Buletin-khidmah Cerpen
Oleh Diyah Ayu Fitriana*)
Nasi telah menjadi bubur, begitu kata pepatah. Dan ini yang aku rasakan sekarang. Aku masih tetap berada di dalam lingkar perih yang mengurungku dengan rasa bersalah. Bertahun-tahun aku dibelenggu rasa yang aku sendiri tak kuat menahannya.
“Ma, makan dulu yach...?” Aku menyuguhkan sepiring sarapan pagi untuk bunda tercintaku. Tak ada jawaban. Mama hanya menggeleng. Aku sudah berusaha mengembalikan dunia cerianya, namun sia-sia. Tapi aku tak pernah membawanya ke dokter jiwa, karena aku tak pernah menganggap mama gila. Bahkan, aku tak rela jika dia harus berada di tempat yang mengerikan bersama orang-orang sakit jiwa. Aku tak merelakan hal itu terjadi. Air mataku jatuh perlahan membasahi sprei berwarna biru. Perasaannku trenyuh melihat bunda tercinta harus menjalani sisa umurnya di ruangan kecil, pengap, dengan ventilasi yang sangat kecil.
Aku sesali kebencianku pada Febby, yang menurutku begitu menyebalkan. Rengekan tangisnya membuatku tidak suka dekat-dekat dengannya. Aku tak pernah menyukai kehadiran adikku, dari awal kehamilan mama. Kehadiran Febby membuat perhatian mama teralihkan padanya, begitu juga dengan ayah. Seisi rumah sangat memanjakannya. Karena dia perempuan, sedangkan aku laki-laki. Mama memang ingin sekali memiliki momongan perempuan. Dan kehadiran Febby merupakan anugerah terbesar baginya, namun tidak untukku.
@@@
Malam ini, wanita paruh baya itu terlihat begitu lelah. Helai demi helai, ia belai rambut putihnya yang tergerai di balik punggung. Bulan membulat terbentang di langit hitam kelam, seakan turut menyaksikan kepiluannya. Gerakan udara menghembus lembut, kesunyian malam senantiasa hadir di malam-malamnya. Gambar mungil Febby, tetap berada dalam dekapannya. Sudah dua hari ini ayah tak pulang ke rumah. Terakhir aku dengar dari rekan kerjanya, ayah pergi bersama wanita tunasusila yang menjadi langganannya. Entah apa yang membuat ayah berubah. Mama memang tak seceria dulu, tapi kecantikannya masih jelas terlukis di raut wajahnya. Meski berbagai kerutan telah timbul, tapi semua itu tak memudarkan aura kecantikannya. Mama memiliki inner-beauty yang luar biasa.
Malam kian larut, serintik hujan jatuh perlahan membasahi rerumputan. Matanya tak berkedip. Sesaat kemudian dia mengerang, ”Agh.......!!!” tangisnya pecah. Hujan semakin deras mulai mengguyur, seakan melengkapi suasana pilu. Kepenatan mulai dia rasakan. Secara perlahan, ia baringkan tubuh rentanya di atas dipan tua itu.
Sisa air hujam yang mengguyur semalam, masih terasa di atas rerumputan yang kutapaki. Pagi ini aku hanya berada di atas kursi goyang dengan secangkir Moccachino yang menghangatkan badan, serta lembaran surat kabar yang menemaniku. Masih begitu lekat dalam angan, saat Febby kutinggalkan di jalan simpang tiga. Saat itu aku benar-benar tidak memiliki hati nurani. Rengekan manjanya menyiksa gendang telingaku. Aku biarkan dia memanggilku, namun aku berlalu dengan mobilku. Febby berusaha mengejar kakak bejatnya yang tak memiliki rasa belas kasih terhadapnya. Saat itu juga Xenia Silver membentur keras tubuh mungil itu. Ajalpun menjemputnya seketika. Mama sangat terpukul, bahkan dia sempat tak sadarkan diri selama 3 hari. Mama menderita lemah jantung. Kenyataan ini membuatnya shock.
Kini, penyesalan selalu menyertai hari-hariku. Keluargaku berantakan. Mama mengalami trauma, ayah tak kuketahui keberadaanya. Lengkaplah sudah sesal kelabu yang kuderita.
@@@
Wanita pemilik inner-beauty itu datang menghampiriku. “A...a…Adhit....” suaranya lirih, ragu. Seakan ada yang menahan suaranya di kerongkongan. Tersentak aku menoleh ke arahnya. Matanya kusam. Derai air mata yang membuat wajahnya buram. Gambar mungil di dalam bingkai lucu masih tetap dalam genggamannya. Rambutnya tak lagi terurai, mama mulai merapikannya. Aku berharap kondisinya membaik. Kupeluk tubuh berwajah pilu itu erat-erat. Berharap dia merasakan apa yang kurasakan. Kesembuhannya adalah keinginan kuatku.
Mentari dengan gagahnya menebar pesona, membuatku semakin kagum atas ciptaanNya. Sunyi, senyap, hanya udara pagi yang berdesir di wajahku. Kami terdiam dalam pelukan hangat. Aku tak berani melontarkan kata-kata, tak mau ketenangannya terganngu. Mama belum tahu kabar tentang ayah, dan aku tak akan memberitahunya saat ini. Aku telah melepas ayah, bagiku yang terpenting adalah memulihkan mama.
Aku meneguk sisa Moccachinoku. Kuhela nafas sejenak, lalu kuhembuskan perlahan-lahan. Jiwaku bergetar bahagia, saat kulihat senyum mama mulai mengembang. ()
Â
*) Siswi kelas X MA dan santri PP. Darul Ihsan, asal kota Probolinggo