Sastra Tasawuf
Asr314x Buletin-khidmah Esai
Oleh Asy’ari Khatib*)
Â
Ada sebuah realitas menarik terkait pembicaraan tentang satra—khususnya puisi—dalam hubungannya dengan tasawuf. Rentang sejarah tasawuf banyak sekali dihiasi kreativitas sastra, berbentuk puisi. Demikian pula perjalanan sejarah puisi, diperkaya dengan entitas puisi yang penuh nuansa tasawuf. Keduanya hadir secara harmonis. Saling melengkapi, saling mengisi. Seolah-olah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Jika hilang salah satunya, mata uang itu tak lagi punya makna. Lalu, sebuah pertanyaan mengemuka; mengapa antara dunia sastra (puisi) dan tasawuf terjalin hubungan yang amat erat?
Abdul Hadi WM. mengemukakan jawaban alternatif. Bahwa, baik puisi maupun pengalaman tasawuf sama-sama bersifat personal, bahkan impersonal. Pengalaman rohani yang mendalam, sehingga sulit dikomunikasikan secara prosais verbal. Maka, jadilah pengalaman rohaniah tasawuf itu sesuatu yang tidak semua media verbal dapat mengungkapkannya. Butuh media khusus yang memiliki sifat yang sama. Dan puisilah yang memiliki kesamaan spesifik itu. Jadi bisa dikatakan, hubungan antara keduanya adalah hubungan media dan isi. Puisi adalah media, dan pengalaman tasawuf adalah isi.
Disamping alternatif di atas, ada realitas lain yang menjadikan puisi begitu intens terkait dengan pengalaman tasawuf. Yaitu kenyataan bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci, yang dibaca dengan sepenuh hati, memiliki potensi irama puitis yang dahsyat. Siapapun yang membacanya dengan jiwa terbuka, pasti akan tergugah dan terangsang untuk menampilkan pengalaman rohani yang diperoleh darinya dengan gaya ungkap yang serupa.
Para sufi berpandangan, Al-Qur’an bukan sekedar teks denotatif. Yakni teks yang hanya menampilkan makna tekstual an sich. Lebih dari itu, Al-Qur’an haruslah dipandang sebagai teks konotatif. Yakni teks yang menyimpan makna tersembunyi; makna di balik suratan kata. Tanpa pemaknaan konotatif, menurut para sufi, kita tidak akan pernah sampai pada tujuan pokok Al-Qur’an. Dan ruh kita pun tidak merasakan getaran magnit ilahiyat.
Dengan cara dan pandangan demikian, maka Sayyid Husen Nasr menegaskan, hanya kaum sufi sajalah yang mampu menyingkap cadar kecantikan dan keindahan sebagian Al-Qur’an. Kecantikan yang lalu mengundang kerinduan. Dan keindahan yang hanya mungkin dirasakan melalui cita rasa dan hati yang penuh gairah cinta. Maka, pada tataran realitas batiniah inilah, tidak berlebihan kiranya kalau beliau menyebut karya para sufi itu sebagai “wahyu kedua” Islam.
Jadi jelas, bahwa konsentrasi kaum sufi terfokus pada energi dan kekuatan rohani, kekuatan hati nurani. Mereka melandaskan keyakinan-keyakinannya pada rasa dan pengetahuan naluriah. Dalam pandangan mereka, segala sesuatu di dunia ini hanyalah merupakan bayangan, atau paling tidak perlambang dari realitas-realitas rohaniah. Oleh karenanya, kaum sufi mengungkapkan pengalaman rohaniahnya itu dengan cara menciptakan hubungan yang harmonis antara gagasan keagamaan dan keduniawian, antara imaji-imaji profan dan sakral, antara dunia lahir dan batin, antara hal-hal yang sifatnya batiniah dan lahiriyah.
Â
Rumi menulis begini:
Bahagialah aku
Berada dalam mutiara hati
Hingga terlecut badai kehidupan
Bak ombak terhempas, aku melesat
Satu kata yang menjadi pusat apresiasi dalam dunia sufi adalah kata cinta. Tentu saja cinta di sini bukan cinta profan, melainkan cinta sakral, yaitu cinta kepada Tuhan. Bahkan bagi mereka, cintalah yang terdalam dan paling merasuk dibanding jenis perasaan lainnya. Dalam arus cinta ilahi inilah, kaum sufi melabuhkan puncak keyakinannya.
Â
Anshari menulis begini:
Tuhan, menemuiMu
Adalah satu-satunya hasratku
Namun memahamiMu
Jauh dari jangkauku
MengingatMu adalah hiburan
Bagi hatiku rengsa
MembayangkanMu adalah teman setiaku
Kusebut namaMu berulang-ulang siang malam
Nyala cintaMu kemilau
Menerangi gelap malam-malamku
Al-Ghazali menyebut cinta ini sebagai puncak pendakian spiritual menuju hadirat Allah. Ibarat sebatang pohon, begitu orang menaiki maqam cinta, dan hati berhasil merengkuhnya, maka dia akan segera memetik dan menikmati buahnya, berupa syauq, uns, ridla, dan lainnya. Tapi tak semudah itu hati bisa mencapai cinta ilahiyat. Dia harus melewati berbagai tahapan terlebih dahulu, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain.
Wallahu a’lam.
Â
*) pencinta sastra, tinggal di Kab. Sumenep