Pasang-surut Hubungan NU dengan Politik
Zbr296x Buletin-khidmah Khazanah-nu
Secara kelembagaan, NU memang tidak berpolitik (praktis). Namun secara sosial dan personal, warga NU sulit melepaskan diri dari politik (kenegaraan dan kebangsaan). Persoalannya, banyak warga NU yang sulit membedakan antara politik praktis dan politik kebangsaan, sehingga Khittah NU terkadang dimaknai secara kaku. Untuk mengulas persoalan ini, wartawan Khidmah Zubairi El-Karim dan Abdur Rafik, mewawancarai Ketua PCNU Jember, KH. Dr. Abdullah Syamsul Arifin.
Bagaimana sejarah hubungan NU dengan politik, kiai?
Ketika Pemilu pertama tahun 1955 dilaksanakan, NU menjadi bagian utama dari kekuatan politik secara kelembagaan (menjadi partai). Bahkan, dalam Pemilu pertama dan kedua, NU masuk dalam tiga besar dan memperoleh suara yang cukup siginfikan. Itu menunjukkan bahwa kontribusi warga NU untuk ikut membangun bangsa dan negara ini, riil dan besar. Kemudian, dalam proses berikutnya, terjadilah kebijakan pemerintah untuk menyederhanakan partai. NU yang saat itu masih menjadi partai politik, terpaksa harus masuk menjadi bagian dari PPP.
Pada Pemilu tahun 1971 dan 1977, pada masa awal-awal NU menjadi bagian dari PPP, hubungannya cukup bagus. Tapi dalam perjalanannya selama 5 tahun, dipandang kurang menguntungkan pada peta politik perjuangan NU, sehingga pada MUNAS NU tahun 1983 dan Muktamar NU tahun 1984, NU akhirnya keluar dari PPP. Itu yang kemudian disebut NU kembali ke Khittah, dalam arti bahwa NU kembali ke garis perjuangan yang ditetapkan oleh NU, tidak lagi di jalur politik praktis. Jadi hanya politik praktisnya yang ditarik, tetapi politik kebangsaannya demi menyelamatkan warga NU di ranah politik, tetap jalan.
Kembalinya NU ke jalur Khittah, justru menjadikan ruang gerak NU lebih leluasa dalam menyelamatkan hak politik warganya.
Berarti NU tidak pernah menarik diri secara total dari politik?
Yang saya tahu, NU tidak pernah menarik diri dari ranah politik kebangsaan. Negara dan bangsa ini berdiri tegak, tidak terlepas dari keterlibatan peran politik NU. Hanya, yang harus kita tahu bahwa sejarah keterlibatan NU di garis perjuangan politik dari masa ke masa mengalami perbedaan. Perbedaan hubungan NU dengan politik itu ada yang dibangun secara kelembagaan, ada yang dibangun secara personal.
Â
Lalu bagaimana peran Politik NU di Era Reformasi ini, kiai?
Ketika Indonesia menghadapi masa reformasi, NU terus ikut andil dalam pembangunan bangsa. Memang disadari, di era reformasi, NU tidak lagi menjadi partai politik, tetapi NU tetap membangun kekuatan politik dengan membidani kelahiran PKB. Tidak bisa dipungkiri bahwa secara historis, PKB lahir dari rahim NU, karena didirikan oleh pengurus PBNU.
Ketika dalam perjalanannya, ada situasi dimana hubungan kekuatan-kekuatan di NU kurang harmonis, maka NU menyatakan tidak lagi terikat dengan partai yang dibidaninya. Nah, sampai sekarang NU memang menjaga jarak yang sama dengan partai politik yang ada. Meskipun pada saat yang sama, NU tetap menjaga hubungan emosional dengan partai yang pernah memiliki hubungan historis dengan NU.
Â
Lalu, bagaimana dengan hak politik warga NU, Kiai?
NU sekarang memang tidak menjadi kekuatan politik praktis, tetapi warga NU tetap membutuhkan perlindungan politik. Perlindungan politik yang kuat itu tidak bisa dilepaskan dari NU, ketika NU mampu melakukannya, semata karena patuh kepada para ulama. NU hanya memberi pertimbangan dalam menyelamatkan warga dalam menyalurkan aspirasi politiknya kepada partai yang benar-benar memperhatikan dan mengabdi kepada NU.
Suara warga NU itu besar, dan banyak orang yang berkepentingan terhadap suara NU. Karenanya, NU harus memanfaatkan potensi suara yang dimilikinya, tetapi jangan melupakan program-program kemasyarakatan dan keagamaan lain yang bermanfaat bagi warga NU.
Â
Kalau begitu, berarti Khittah NU sangat elastis dan tidak kaku?
Dalam bidang politik, kadang-kadang kita terpaku dengan penerjemahan Khittah yang salah, karena salah memahami Khittah akan dimanfaatkan oleh orang lain. Khittah itu tidak semestinya diartikan netral, karena ketika Khittah diartikan netral dapat memasung hak politik warga NU. Seakan-akan warga NU tidak boleh ikut andil dalam urusan politik. Pada saat itulah orang lain yang berkepentingan terhadap NU, secara leluasa mengambil suara warga NU. Nah, pada konteks inilah warga NU dirugikan karena pandangan sempitnya tentang Khittah.
Jangan dianggap tabu untuk bicara politik. Ingat! Orang lain yang menginginkan NU tidak berpolitik, sesungguhnya mereka sedang melancarkan misi politiknya untuk melepaskan warga NU dari kepentingan politik. Kita tidak boleh alergi dengan politik, karena hidup kita ini adalah politik. Hanya, tinggal mengemas politik itu bagaimana agar memberikan manfaat besar bagi kemajuan bangsa.
Â
Politik acapkali melahirkan sikap pragmatisme, bagaimana kiai memandang hal ini?
Inilah tugas NU untuk mengendalikan sikap pragmatisme warga dengan membangun politik yang bermoral, politik yang santun dengan kembali kepada mabda’ siyasi yang dibangun oleh para alim ulama’. Sikap pragmatisme lahir karena kita tidak mampu membangun politik yang proporsional dengan tugas utamanya. Kiai dan umat ada tugas utamanya, kelembagaan politik begitu juga; keduanya tidak bisa dilepaskan. Karena, disadari atau tidak, pesantren yang merupakan basis ulama juga memiliki ketergantungan pada kekuatan politik. Ketika situasi politik tidak menguntungkan, hal itu bisa melemahkan peran pesantren dalam membangun dirinya dan mengabdi pada masyarakatnya.
Â
Bangaimana dengan fakta, ada partai Islam yang malah melahirkan koruptor?
Korupsi tidak harus menakutkan kita berpolitik. Karena, terkait dengan itu (pencegahan korupsi, red) harus ada sistem yang terus diperbaiki. Tidak hanya kader partai Islam kok, yang korup, tapi banyak juga kader partai lain. Karena selain mental, ada sistem yang membuka peluang orang untuk korupsi.
NU semangatnya jelas anti korupsi, warga NU punya semangat besar agar kader-kadernya tidak terpeleset ke jurang korupsi, tetapi ada saja kan, yang jatuh. Tentu ini menjadi tugas kita semua untuk saling mengingatkan dan mendorong perbaikan sistem. Sama seperti Islam melarang umatnya mencuri, tapi masih banyak umat Islam yang mencuri. Apa yang salah lalu Islamnya? Kan tidak!
Memang ada kader NU yang begitu, tapi banyak juga kan, kader NU yang amanah dan berjasa besar membangun umat ini. Sikapi secara bijaksana, jangan sampai situasi ini menjadi kerikil tajam yang menjauhkan warga dari peran politiknya. (Zbr-Fiq)