K? Rawi Mendidik dengan Ihsan
esoftHMD320x Buletin-khidmah Inspirasi
Oleh Dr. Ach. Maimun Syamsuddin, M.Ag.
Dosen Filsafat Fakultas Ushuluddin INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep
“Alhamdulillah…,” gumamnya lirih, sambil membungkuk turun dari surau gedek, setelah santri-santri kecilnya bubar sambil berebut sandal. Segera ia menuju rumah sederhana berlantai semen di sebelah utara surau itu. Hampir bersamaan dengan kaki kanannya masuk rumah, seorang tamu datang. “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumumussalam... Mari, silahkan Mus. Sendirian?” Ke Rawi menyambut dengan ramah.
“Iya K?h, sendiran.” Rupanya yang datang Mustafid, santrinya dulu yang sekarang sudah sarjana dan mengajar di madrasah kampung sebelah.
“Kok kelihatan capek?”
“Pikiran saya yang capek, keh” Mustafid merespon singkat.
“Emang, kenapa?.”
“Itu keh..., orang-orang pada ribut tunjangan fungsional, karena dapatnya beda. Yang ngajar di sekolah A dapat 300 ribu, tapi di lembaga B dapat 750 ribu, kemudian di madrasah C dapat lebih dari 1 juta,” Mustafid kelihatan kesal.
“Mus, mengapa jadi mengeluh begitu. Kan sudah dapat. Itu nikmat Allah, tidak semua orang bisa mendapatkannya. Jangan biasakan melihat jumlahnya, tapi dari siapa uang itu didapat. Betapa kita lancang pada Allah, sudah diberi nikmat masih mengeluh.”
“Yaaa, bukan masalah syukur atau tidak, keh. Tapi ini kan permainan kepala sekolah. Ada yang rakus hingga hak guru digunakan untuk kepentingan pribadi,” Mustafid berusaha menjelaskan.
“Kita memang mudah berbuat dosa. Sudah tidak bisa menyukuri nikmat, menuduh yang tidak jelas pula. Bukankah yang seperti ini fitnah?” K? Rawi meluruskan.
“Ini nyata lho, k?h!”
“Kalaupun nyata, membicarakan kejelekan orang itu juga dosa besar lho, Mus. Apa dengan membicarakan kejelekan orang, kita menjadi benar dan lebih baik? Bukankah kita sama-sama berbuat dosa tapi dalam bentuk yang berbeda? Kalau tak bisa memperbaiki kesalahan orang, sebaiknya doakan saja semoga dia mendapat hidayah dan semoga kita tidak berbuat hal yang sama. Jika melihat orang yang lebih jahat dari kita, jangan merasa lebih baik, karena bisa jadi dia bertobat dan tobatnya diterima Allah, sementara kita tidak mendapat pengampunan dosa karena merasa tidak berdosa, na’udzubillah!”
“Mengapa upaya meningkatkan kesejahteraan guru malah jadi negatif ya k?h?” Rupaya Mustafid tidak kesal lagi.
“Tidak. Tidak negatif. Itu baik. Kita saja yang menyikapinya negatif karena kita negatif thinking. Guru harus sejahtera dan usaha pemerintah sudah benar. Tentu saja ini nikmat dari Allah. Tapi jangan lupa, ini juga ujian apakah kita bisa menyukuri dan menggunakannya dengan baik. Banyak orang TIDAK lulus ujian kenikmatan. Makanya para sufi justru susah kalau mendapat kenikmatan, karena mereka takut tidak bisa menggunakannya dengan baik. Mereka lebih senang mendapat musibah, karena bagi mereka sabar lebih gampang dari pada syukur.”
“Tapi sepertinya, para guru sekarang lebih banyak yang memikirkan diri sendiri dari pada memikirkan muridnya.”
“Jangan sebut para guru, karena kita tidak tahu persis apa yang ada di hati mereka. Perbuatan bisa sama, tapi niat bisa beda. Kalau kamu merasa lebih banyak memikirkan diri sendiri dari pada murid, jangan bilang para guru, bilang ‘saya’ saja.”
“Kalau K? Rawi sendiri, gimana ngajar ngaji santri-santri di sini?”
“Aku merasa sangat beruntung karena diberi kesempatan oleh Allah untuk mengajar ngaji anak-anak tetangga. Aku benar-benar bersyukur.”
“K? Rawi senang, bangga?”
“Ya, sangat senang, haru, dan bersyukur. Karena Allah yang mengirim anak-anak tetangga itu ke sini. Aku diberi kesempatan oleh Allah untuk mengajarkan firman-Nya. Allah mengantar mereka dikawal para malaikat rahmah. Setiap hari, aku selalu ingin Maghrib segera tiba, untuk menyambut kedatangan mereka. Sungguh kebahagiaan dan kehormatan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Mungkin aku harus belajar menulis puisi kepadamu untuk bisa mengungkapkan kebahagiaan itu.”
“Bagaimana caranya agar bisa merasa begitu, keh?”
“Semua ini anugerah Allah, melalui perantara doa para guru, orang tua, juga doa murid-muridku.”
“Saya kok tidak bisa merasa begitu ya, K?h?” wajah Mustafid tampak lesu.
“Bukan tidak merasa, tapi belum merasa. ‘Tidak’ dan ‘belum’ itu berbeda dan menunjukkan perbedaan cara berpikir.”
“Kalau begitu, mengapa saya belum merasa begitu saat ngajar, keh?”
“Sederhana.., berdoa dan berusaha. Dulu aku merasa gajar ngaji itu jabatan yang diberikan Allah. Ini tugas dari Allah, bukan hanya dari kepala sekolah atau kepala desa. Aku terharu karena diberi tugas mulia oleh Dzat yang Maha Mulia. Aku harus melakukannya dengan baik, karena Allah mengontrol langsung setiap saat. Aku selalu mohon ampun atas kesalahanku saat melaksanakan tugas. Bahagia yang bersatu dengan ketakutan, itulah yang membuatku lupa berharap pahala dari Allah.”
“Astaghfirullah...!” Mustafid menunduk.
“Sebenarnya itulah ihsan ajaran Rasulullah, beribadahlah kepada Allah seolah melihat-Nya. Kalau tidak, Allah benar-benar melihat segala tindakan kita. Bukankah mengajar juga ibadah?”
“Benar keh. Terima kasih banyak K?h, saya pamit dulu.”
“Lho...kok buru-buru?”
“Gak apa-apa, K?h. Assalamu’alaikum,” Mustafid bergegas tanpa alasan jelas, tapi matanya tampak berkaca.
“Wa’alaikumusalam....” ()