Titah Sang Ibu
esoftHMD357x Buletin-khidmah Cerpen
Oleh Nur Jamila Baisuni
Santriwati Latee II PP Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep
Bersama deru ombak yang bising kutitip mimpi dan harapanku pada Tuhan yang menciptanya. Kuharap janji Tuhan atas doa-doa yang kupanjatkan di setiap detak jantungku. Kuyakin Tuhan tak pernah salah. Tuhan tak pernah bohong. Akulah Upek, hamba-Nya yang lemah dan mencoba bermetamorfosis menjadi lebih baik walau tak sempurna. Aku terlahir dari arsitektur sel-sel tak berharta. Tumbuh bersama desir angin di tepi pantai dalam gubuk nestapa, tempatku merajut impian. Kesulitan ekonomi membuatku nyaris putus sekolah. Namun, kucuran keringat ibulah yang mampu menghidupkan semangatku untuk belajar dan membanggakannya. Meski dengan langkah yang begitu lelah kucoba jalani hariku dengan indah.
###
Menjadi ibu yang baik, istri yang tegar dan ketaatannya pada Tuhan, membuatnya tampak anggun dan hebat. Dialah ibuku. Ibu yang menjadikanku benar-benar merasa hidup. Aku begitu menyayanginya, terlampau mencintainya. Keteduhan matanya membuatku damai, semangatnya yang tinggi meyakinkanku untuk menjalani hidup ini walau pahit. Ibu selalu bilang, “Jika Upek ingin jadi orang sukses dunia dan akhirat, yakinlah bahwa Allah tak pernah ciptakan sampah. Kita akan memetik buah dari benih yang kita tanam.”
Aku menyimak dengan saksama.
“Ibu sendiri yakin?”
Ibu mengangguk penuh arti.
“Upek tak yakin. Buktinya ibu tak kaya-kaya meski tiap hari banting-tulang bekerja.” Kulontarkan saja apa yang ada di benakku.
“Upek sayang. Orang sukses itu tak harus kaya, tapi bagaimana ia mampu menata otak dan hatinya ke arah yang baik. Upek paham?” Ibu menjelaskan dengan senyumnya yang khas. Aku mengangguk paham. Kucoba mencerna kata-kata ibu. Kurasa apa yang diucapkan ibu benar.
###
Malam yang dingin. Suasana senyap. Bungkam tak berirama. Hampir aku terlelap, tiba-tiba ada riuh redam mengusik kesenyapan malamku.
“Marni, keluar kau! Serahkan uangmu! Kalau tidak kucekik lehermu!”
Merinding. Dari celah-celah pintu kulihat dia, yang tak perlu kusebut namanya, membuatku risih, cemas, pun takut. Ibu keluar dengan wajah sedikit tegang, ada getir di hatinya.
“Kumohon jangan kacaukan suasana malam ini.” Ibu memelas.
“Ah! Tak usah banyak bacot. Mana uangnya?”
PLAAAAK! Satu tamparan mendarat di pipi ibu. Wajahnya memerah. Lelaki itu mengambil uang dengan paksa.
“Jangan bawa uang itu! Kumohon!”
Ibu memohon seraya merangkul kakinya. Namun ia terjang ibu dengan keras. Lalu pergi. Kukepalkan jemariku. Geram.
“Brengsek!” desisku kesal. Ingin kuhantam dia sekeras mungkin. Sayang, aku tak dapat berkutik. Dia terlalu buas dan liar. Mendengar langkah kakiknya saja aku serasa diserang dentum bom. Dialah…
###
Sakit rasanya bila harus kusebut namanya. Sudah terlampau dalam aku membencinya. Ayah. Ayah yang kurasa tak pernah ada untukku. Ayah yang menyebalkan dan membuatku rapuh. Meski dalam nadiku juga mengalir darahnya, namun dia hanyalah ayahku di mata orang-orang, tidak di hatiku. Kerjanya berfoya-foya, menyiksa ibu, dan mengambil paksa hasil keringatnya. Dalam langkah gamang kuharap aku tak mewarisi sifat bejatnya itu. Dia bukan suami yang baik, bukan pula ayah yang bertanggung jawab. Dia hanyalah lintah harta, benalu, virus, dan hama yang menjadikanku dan ibuku ringkih, remuk, dan rapuh. Maafkan aku, Tuhan. Aku tak bisa menghormatinya. Telah tersimpan luka dan perih di rongga hatiku. Karena dia, ibu harus melakukan sesuatu yang tak seharusnya menjadi kewajibannya.
###
“Ibu harap jika suatu saat Upek sudah berkeluarga, Upek akan memperlakukan dan meyayangi mereka dengan penuh kasih dan cinta.” Ibu tak pernah lelah mewanti-wanti. Ada trauma mendalam tampak di garis wajahnya. “Upek harus jadi lelaki yang baik, suami yang bertanggung jawab dan ayah yang penyayang,” Ibu melanjutkan.
Sikapnya yang tegar membuatku sadar. Ternyata perempuan yang identik dengan sikap sensitif tak selamanya lemah. Di balik lelaki hebat tercipta perempuan kuat. Agama saja melindungi kaum perempuan, lalu kenapa aku tidak? Kumantapkan hatiku untuk mewujudkan mimpi dan harapan ibu. Delapan minggu lamanya tak kujumpai ayah. Muka seramnya, langkah kakinya yang membuatku tegang tak lagi bisingkan malam-malam heningku. Tapi, diam-diam sealun lagu menggema di kalbu. Diam-diam sejumput rasa tumbuh tiba-tiba dan tak bisa kupungkiri. Aku rindu ayah. Meski aku muak, tapi cinta masih jua menitik untuknya. Mungkin karena aku pun manusia yang memilki rasa.
###
Menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu. Sebulan berlalu dan tahun pun berganti. Ada banyak bahasa, cerita, dan rasa yang membuataku remuk dan letih. Letih dengan segala yang harus kujalani. Begitupun dengan kepergian ibu seminggu yang lalu. Semoga dia tenang di sisi-Nya. Betapa perih kutatap kepergianya. Entahlah dengan ayah, tak lagi kudengar kabar setelah kepergiannya setahun yang lalu. Kini kumenata hembusan nafas dan mencoba melupakan semua kekejamannya. Bagaimanapun dia adalah ayahku meski sempat tebersit di benakku rasa kecewa karena aku harus lahir dari spermanya. Allah, ampuni aku. Lindungi ayahku.
###
Delapan tahun berlalu…
Aku telah menjadi sosok lelaki dewasa berusia 25 tahun. Sebagaimana makhluk Tuhan yang lain akaupun memiliki akal, nafsu, pun cinta. Alhamdiulillah, aku bukanlah lagi Upek delapan tahun silam yang polos, penakut, dan sebatang kara. Aku telah memiliki keluarga baru dan suasana yang tak lagi suram. Istriku baik, cantik, dan shalihah. Minimal dalam pandanganku. Anakku pun cerdas, patuh, dan cantik seperti ibunya. Aku begitu mencintai mereka.
###
Suatu pagi yang basah berembun. Keperhatikan istriku yang tampak sibuk dengan sesuatu.
“Ana! Kau tampak sibuk. Ada apa denganmu?”
“Ana ingin jualan kue, Kang.” Dia kembali fokus pada pekerjaannya.
“Apa? Jualan kue? Akang tidak setuju. Kenapa tidak kasih tahu akang terlebih dahulu?”
“Ana, kan, ingin meringankan beban Akang. Apa Ana salah?”
“Memang tak salah, tapi Akang tak mau jika Ana melakukan sesuatu yang bukan kewajiban Ana. Kita kan sudah punya kewajiban masing-masing. Akang cari nafkah, Ana ngurus rumah. Lalu kita sama-sama mendidik putri kita, Kaila. ”
“Tapi, Kang..?” Dia tampak kecewa.
“Istriku. Cintaku. Sudahlah, urungkan saja rencanamu itu. Akang mohon!”
Ana tercenung. Lama sekali. “Baiklah, kalau itu mau Akang.”
Aku memang tak pernah setuju jika istriku juga bekerja. Aku tak ingin kejadian 10 tahun yang lalu terulang. Aku sangat menjaga istri dan putriku. Ada harapan besarku dalam diri mereka. Kuingin mereka menjadi sosok wanita muslimah yang tegar dan memberikan kedamaian pada keluarga, masyarakat, bahkan pada negeri ini. Sebagai lelaki, aku ingin menjadi suami sekaligus ayah seutuhnya, membimbing dan melindungi mereka. Di atas itu aku ingin menjadi anak ibu yang akan mewujudkan mimpi dan harapannya.
Latee II, 17 Juni 2011