Teologi Kultural
esoftHMD231x Buletin-khidmah Esai
Pak Kuntowijoyo pernah mengklaim Muhammadiyah telah berdosa besar terhadap dunia kebudayaan Indonesia. Pasalnya, Muhammadiyah telah menggusur—atau paling tidak, bersikap antipati terhadap—tradisi-tradisi lokal atau ritus-ritus keagamaan yang dipandang bersentuhan dengan konsep kuffarat, khurafat, dan tahayul. Padahal, dari sudut pandang ajaran agama Islam, apa yang dilakukan Muhammadiyah itu diyakini sebagai suatu keniscayaan. Sebab, tradisi dan ritus demikian dianggap menodai citra dan kemurnian aqidah.
Sekilas tampak di sini adanya ketegangan hubungan antara budaya di satu sisi, dan agama di sisi lain. Agama, dengan seperangkat konsepsi ajaran dan nilai sublimal yang mengklaim dirinya sebagai kebenaran sakral, harus berhadapan dengan sistem budaya yang—meskipun—bersifat profan, namun sudah melekat kuat pada pola pikir dan tata laku dalam satu komunitas masyarakat. Maka konfrontasi antara keduanyapun tak dapat dielakkan.
Sebetulnya kedatangan Islam ke dalam satu komunitas masyarakat tidak dapat dipandang sebagai ancaman yang akan membabat habis sistem budaya yang ada. Sebab, disamping tidak manusiawi, hal itu juga tidak mungkin terjadi. Kedatangan Islam hendaknya dipahami sebagai suatu aksi untuk, pertama, mengisi jiwa kebudayaan yang ada, sehingga dapat hidup sesuai dengan watak kehidupan itu sendiri. Kedua, memberi landasan yang kokoh sehingga kebudayaan yang ada mampu membangun dirinya dengan tegar, tahan banting, tidak goyah, dan tidak mudah tereduksi oleh gempuran budaya lain. Ketiga, memberi tujuan dan arah yang jelas menyongsong dinamikanya ke depan.
Dengan prinsip-prinsip dasar yang dipaparkan di atas, dapatlah kiranya dikatakan bahwa sebetulnya Islam dalam mendekati tatanan budaya yang sudah eksis di tengah komunitas masyarakat menganut paradigma teologi kultural. Artinya, Islam menghendaki seluruh tatanan sistem kebudayaan itu ditegakkan di atas konsep tauhid. Tauhid di sini tidak hanya diartikan monoteisme sebagai pengakuan terhadap keesaan Allah. Akan tetapi, lebih dari itu, tauhid diartikan sebagai upaya menyatukan kesadaran akan eksistensi dua komponen sejati manusia, yaitu jasmani dan ruhani. Islam sebagai landasan pacu kebudayaan berorientasi untuk menyelaraskan gagasan-gagasan material dan spiritual manusia.
Substansi doktrinal Islam adalah tauhid, yakni sikap dan semangat memosisikan Allah sebagai tuhan yang esa. Allah sebagai pusat segala pengabdian dan penghambaan. Dialah Dzat yang wujud, yang wajib disembah oleh segenap makhluk. Dialah Dzat yang harus diinternalisir ke dalam wilayah kesadaran batiniah dan dihujamkan ke dalam sistem keyakinan hati nurani. Apabila substansi tauhid ini sudah berhasil dijadikan kendali rohani, ia akan mampu terjun di tengah pluralitas sistem budaya tanpa harus membuldozer kekayaan budaya itu sendiri. Malahan secara kreatif ia akan dapat meniupkan ruh ketuhanan, memberi kekayaan baru dan nuansa kesucian yang dinamis, sehingga kebudayaan yang ada tetap eksis lebih kokoh dan lebih bijak, sesuai dengan arah kehidupan yang mesti dijalani oleh umat manusia.
Jadi jelas, apa yang semestinya dilakukan Islam itu adalah terutama memberi ruh terhadap tubuh kebudayaan. Bukan melindasnya hingga binasa. Itulah sebabnya, ketika para sahabat protes terhadap Rasulullah setelah mengeluarkan perintah sa’i antara Shafa dan Marwah, dengan alasan bahwa sa’i itu tradisi jahiliyah, Allah tidak memperkenankan menggusurnya. Malahan, Allah menegaskan dengan sebuah firman: inna al-shaf? wa al-marwata min sya‘?irillah. Bahwa sesungguhnya Shafa dan Marwah itu adalah bagian dari syi’ar atau simbol kekuasaan Allah.
Prinsip inilah yang dijadikan komitmen oleh pendahulu kita, pembawa cahaya Islam ke Indonesia, Sunan Kanjeng Wali Songo. Mereka dengan arif dan cerdas memilih jalan damai dalam memperkenalkan agama Islam. Beradaptasi secara akrab dengan tradisi-tradisi lokal yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Namun, secara substansial mereka telah mengisi, membimbing, dan mengarahkan tradisi-tradisi itu dengan muatan nilai ketauhidan dan kesejatian hidup.
Wallahu a’lamu bil ashshawaab