Pencinta Sejati al-Qur?an
Asr201x Buletin-khidmah Figur
K.H. Abdullah Sajjad
Pengasuh PP. Annuqayah Guluk-Guluk
(Bagian II)
K.H. Abdullah Sajjad adalah seorang pencinta al-Qur’an sejati. Hari-harinya berhiaskan al-Quran. Tak hanya sebagai ritual bacaan, tetapi juga berlabuh dalam setiap jengkal tindakan. Untuk yang terakhir ini, dapat kita lihat secara lebih nyata bagaimana Al-Qur’an menjadi ruh perjuangan beliau melawan tentara Belanda dan Jepang, yang berusaha menduduki Indonesia dan mencerabut agama Islam yang sudah mengakar kuat di hati mayoritas umat.
Kecintaan K.H. Abdullah Sajjad kepada al-Qur’an bermuara pada darah sang ibu, Nyai Mariyah. Nyai Mariyah dikenal sangat baik mengajar al-Qur’an kepada santri-santrinya. Kegiatan ini dilakukannya dengan penuh disiplin di suraunya yang sederhana. Karakter inilah yang kemudian mengalir ke dalam denyut nadi sang putra, K.H. Abdullah Sajjad. Tak heran bila kiai yang selalu berpakaian rapi ini, tak jemu-jemu mengajar al-Quran setiap hari. Dengan metode sorogan, para santri satu persatu membacakan al-Qur’an, sedangkan beliau menyimak, mencermati, dan memperbaiki bacaan-bacaan mereka yang kurang tepat. Untuk tujuan ini, beliau mengajarkan Ilmu Tajwid secara intensif. Dan kelak, setelah ada beberapa santri yang khatam 30 juz, mereka “diwisuda” secara serimonial dalam acara Haflah. Lebih dari itu, mereka juga diharuskan berpidato bahasa Arab. Beliau sendiri yang menyusun teksnya, sedangkan santri tinggal menghafalkan dan mengorasikan.
Dalam mengimami shalat, K.H. Abdullah Sajjad membaca surah-surah panjang dalam Juz ‘Amma, seperti surah al-‘Alaq, al-Gh?syiyah, al-Tak?tsur, al-Humazah, dan sebagainnya. Khusus malam Jum’at, saat shalat Isya’ beliau membaca surah al-Jumu‘ah pada rakaat pertama dan surah al-Mun?fiq?n pada rakaat kedua, sedangkan pada shalat Shubuh membaca surah al-Sajdah pada rakaat pertama dan surah al-Ins?n (al-Dahr) pada rakaat kedua.
Keterlibatan beliau yang begitu intensif dengan al-Quran, pada gilirannya, memberi ruang apresiasi yang lebih hangat terhadap al-Qur’an sekaligus memberi kesempatan bagi beliau untuk menggali lebih dalam kandungannya. Beliau tidak menghafalkannya. Berdasarkan beberapa informasi, beliau juga tidak menganjurkan santri-santrinya mengahafalkan al-Qur’an. Alasannya sederhana; khawatir mereka melupakan hafalannya kelak, setelah sibuk dengan berbagai aktivitas di tengah-tengah masyarakat. Menurut beliau, yang jauh lebih penting bagi mereka adalah membaca al-Qur’an dengan baik dan mengamalkan isinya.
Kecintaan K.H. Abdullah Sajjad kepada al-Qur’an juga tidak lepas dari seruan al-Qur’an sendiri. Di dalamnya Allah berfirman, “Dan apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (al-A‘r?f: 204). Seruan ini menegaskan bahwa Allah menghendaki kita semua peduli kepada al-Quran.
Sifat dan perilaku sehari-hari K.H. Abdullah Sajjad pun diwarnai nilai-nilai al-Quran. Beliau sangat murah hati dan suka bersedekah. Tak sedikit orang-orang yang tergolong miskin di sekitar pesantren, mendapat uluran tangan dan merasakan langsung kedermawanan beliau. Lebih-lebih keluarga beliau sendiri. Pernah suatu kali, ketika datang dari menghadiri undangan di Kalianget, beliau menyewa dokar dan membawa anak-anaknya ke pasar Ganding. Mereka dibebaskan membeli apa saja yang mereka kehendaki.
Ketika terpilih menjadi kepala desa Guluk-Guluk dan, dengan begitu, beliau mendapat jatah sejumlah tanah bengkok, beliau tidak mengambil seluruhnya. Sebagian besar diserahkan kepada saudara dan menantunya yang dianggap layak menggarap dan memanfaatkannya. Beliau hanya mengambil sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Jadi, beliau menjadi kepala desa bukan untuk meraup kekayaan, tetapi untuk dijadikan media amar makruf nahi mungkar melalui jalur struktural. Beliau lebih mengharapkan pahala Allah di akhirat kelak. “Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu daripada dunia” (al-Dhuh?: 04). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakanmu, dan jangan (pula) penipu (setan) memperdayakanmu dalam (menaati) Allah” (Luqm?n: 33).
Dalam kehidupan rumah tangga, K.H. Abdullah Sajjad adalah sosok suami yang bertanggung jawab. Beliau menyadari betul firman Allah, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita” (al-Nis?’: 34). Meskipun secara ekonomi terbilang tidak mampu, tapi beliau dapat memondokkan semua putranya dari istri pertama. Ini berkat usahanya dengan bantuan tetangga-tetangga, juga almarhum K. Isma‘il, dalam hal mengirimkan uang kepada putra-putra beliau di pondok.
K.H. Abdullah Sajjad sangat tidak menyukai bank, dengan alasan bertentangan dengan firman Allah, “..padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah: 275).
Dalam kehidupan sosial, K.H. Abdullah Sajjad dikenal suka bersilaturahmi dan mengunjungi sanak falimi. Bila ada tetangga yang sakit, beliau datang membesuk. Biasanya beliau mengajak beberapa santri lalu membacakan burdah seraya mendoakan agar si sakit segera diberi kesembuhan atau diberi kemudahan menghadap Allah, jika memang sudah menjelang ajal. Jiwa sosial begitu merasuk dalam diri beliau.
K.H. Abdullah Sajjad juga dikenal tegas dan berkarakter. Tangguh dalam membela prinsip dan sangat antipati terhadap segala bentuk pelecehan yang dilakukan kalangan non-NU. Sebagai tokoh NU, beliau gigih membela ajaran dan keyakinannya. Contohnya, sebagaimana diuturakan K.H. Abdul Basith, dalam lembaran catatannya, Kiai Abdullah Sajjad pernah menulis pembelaan terhadap penggunaan kata “ushall?” pada setiap memulai salat: satu hal yang didebat oleh salah satu paham non-NU. Hal ini ini menunjukkan konsistensi sikap dan ketegasan beliau dalam membela keyakinan yang diajarkan para ulama salaf al-shalih.
Beliau juga menganjurkan kepada santri-santrinya untuk selalu berhati-hati dan benar-benar mencermati ketika membaca “kitab-kitab tertentu”. Beliau, misalnya, pernah menulis catatan di lembaran kitab Fush?s al-Hikam karya Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Isi catatan itu adalah anjuran agar berhati-hati dan bersikap kritis dalam membaca kitab tersebut, sehingga tidak melahirkan kesimpulan yang “menyesatkan”. (zuq/asr).
Bersambung…