Manusia Pisang
esoftHMD415x Buletin-khidmah Inspirasi
Oleh A. Warits Anwar
Pengajar di PP. Annuqayah, tinggal di PP. Nurul Huda, Pakamban Laok, Pragaan, Sumenep.
Manusia manapun yang belum pernah mencicipi pisang, belumlah lengkap hidupnya. Pisang sudah dikenal sejak nenek moyang. Dari pelosok hingga kota besar, dari ujung barat hingga ujung timur. Baik pria maupun wanita, tua maupun muda. Namanya berbeda-beda. Orang Madura menyebut geddhang, orang Arab menyebut mauz, orang Inggris bilang banana. Namun, substansi dan bendanya sama: yaitu pisang.
Varian pisang pun beraneka ragam. Ada yang pohon dan buahnya besar, seperti geddhang osok. Ada yang pohonnya besar tapi buahnya kecil, seperti geddhang krepek tabar. Ada yang bentuk buahnya bengkok, seperti geddhang tanduk. Ada yang pohonnya kecil dan buahnya banyak, seperti geddhang saebuh. Ada geddhang tepong, museng, dan sebagainya. Tidak ketinggalan kita juga pernah mendengar ada pisang ambon.
Menanam pohon pisang sangat mudah. Ia bisa hidup di mana-mana. Yang menarik, pohon pisang tidak akan mati sebelum berbuah. Jika dipotong, dalam waktu dekat akan bersemi lagi sampai berbuah. Sebaliknya, apabila sudah berbuah, ia akan mati. Tapi mati meninggalkan tunas-tunas baru.
Pisang adalah buah serba guna. Di pesta perkawinan ada roti pisang. Bersantai di tempat wisata, kita bisa menikmati krepek pisang dengan aneka ragamnya. Para buruh yang sedang mengaso untuk mengusir letih, bisa disuguhi kolak pisang. Teman-teman kita yang sedang jaga malam akan sangat bahagia manakala mereka mendapatkan secangkir kopi, sebatang rokok, plus goreng pisang hangat. Begitu nikmatnya sehingga kadang kita lupa bersyukur dan tak pernah bertanya, siapakah yang menanam pisang tersebut.
Sebagai pemakan pisang, kita terkadang merasa lebih hebat daripada pohon pisang. Tidakkah kita sadar, banyak orang meninggal dunia tanpa meninggalkan buah manis bagi orang lain? Tak sedikit orang hidup di jagat raya ini tidak jelas profesinya dan sulit mau ditempatkan di mana. Serba tidak pantas dan tidak pas. Di kantor tidak. Di lembaga pendidikan tidak. Di pertanian tidak. Di perdagangan pun tidak. Mereka hanya bisa mengamalkan syair lagu Mbah Surip, “tidur lagi, bangun lagi, tidur lagi.” Untuk orang seperti ini, kami hanya bisa mengucapkan selamat tidur, semoga bermimpi indah.
Pisang enak dimakan dan baik dicontoh. Usahakan kita hidup seperti pohon pisang; pantang mati sebelum memberi buah manis kepada orang lain. Jadikan hidup ini sebagai lapangan untuk menanam (bukan menanam pisang, ma’af) dan sekaligus berbuah. Janganlah mati sebelum memberi manfaat kepada lingkungan sekitar. Jadilah manusia pisang!