Madura di Mata De Jonge
esoftHMD205x Buletin-khidmah Resensi
Judul Buku : Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi
Penulis : Huub De Jonge
Penerbit : LkiS
Cetakan : 2012
Tebal : xvi + 313 halaman
ISBN : 979-25-5343-6
Â
Pemahaman orang terhadap Madura terasa tidak utuh, karena tidak banyak kelompok etnis di Indonesia yang menyandang streotip negatif sebanyak yang melekat pada orang Madura. Meski merupakan etnis terbesar ketiga di Indonesia, orang Madura tidak diuntungkan secara sosial. Pandangan miring yang terlanjur melekat tidak mudah dihilangkan. Padahal, kegigihan, keceriaan, kesetiaan, kejujuran, dan keperkasaan merupakan kualitas kepribadian orang Madura.
Oleh karena alasan itulah, seorang profesor dan antropolog Radboud Universiteit Nijmegen Belanda, Huub De Jonge, memiliki ketertarikan kuat terhadap kebudayaan orang-orang Madura yang di setiap lintasan sejarah hampir selalu berlumuran stigma, streotip, citra negatif, dan parasangka-prasangka yang memprihatinkan. Kekhawatiran orang bisa keluar dari Madura hidup-hidup malah menjadi penopang ketertarikannya pada Madura. Dalam hal citra negatif ini, orang Madura digambarkan sebagai orang yang sembrono, dekil, cepat tersinggung, kurang sopan, pemarah, pendendam, suka berkelahi, dan bengis. Sifat bengis inilah yang mendapat porsi dominan dalam pencitraan orang Madura. Banyak dicontohkan, jika orang Madura dipermalukan, ia akan menghunus belati untuk membalas dendam, bahkan sekadar untuk menjawab “penghinaan kecil”. Dibandingkan dengan citra etnis terdekat, Jawa dan Sunda, Madura merupakan etnis “terburuk”, sehingga menimbulkan ketakutan etnis lain pada orang Madura (hal. 63-77).
Kecintaan orang Madura pada sapi juga mengundang stigma buruk di mata masyarakat luar Madura. Kecintaan ini dianggap turut membentuk sifat bengis orang Madura yang hewani. Indikasi lainnya adalah kegemaran orang Madura terhadap adu sapi jantan yang merupakan pameran keperkasaan dan kemurkaan binatang, dikelilingi penonton berwajah kejam dan keras. Aduan sapi tidak hanya dianggap sebagai pertarungan antar binatang, tetapi juga kontes antarorang, antarlingkungan, antarwilayah yang bersaing dan bermusuhan. Kehormatan dan status sesorang atau kelompok dipertaruhkan dalam perlombaan ini, dengan segala konsekuensi yang mengikutinya (hal. 88-100).
Walupun banyak prasangka memprihatinkan yang diulas, De Jonge menunjukkan pandangan netral mengenai peristiwa pengusiran dan pembantaian etnis Madura di Kalimantan Barat beberapa tahun lalu. Menurut De Jonge, pada hakikatnya suku Dayak merasa iri dan terdesak melihat kesuksesan yang umumnya diraih orang Madura—padahal kesuksesan itu diraih berkat kegigihan, keuletan, dan kejujuran mereka. Rasa itulah—ditambah citra buruk yang ditangkap suku Dayak tersebut—yang memancing tindakan menindas dan mendiskriminasi orang Madura. Dalam bentrokan komunal tersebut, orang Madura bukanlah pihak penyerang, melainkan pihak yang bertahan. Mereka tidak pernah menyerang/bersikap kasar apabila tidak merasa terdesak. “..... Tetapi penting diakui bahwa, meskipun orang Madura sering menjadi pihak yang lebih dulu angkat senjata, mereka tidak pernah bermaksud memicu atau melakukan kekerasan komunal. Sejauh yang diketahui, mereka tidak pernah meninggalkan kawasan mereka sendiri untuk menyerang pihak luar, kecuali memasang berikade di jalan-jalan besar untuk mencegat orang-orang yang berpotensi menjadi lawan (hal. 210).”
Gaya tutur buku Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi ini sangat menarik. Dengan gaya tutur tersebut De Jonge, yang sering melakukan penelitian di Madura sejak tahun1976, mampu menggugah pembaca berpikir dan berimajinasi untuk mengikuti alur dan kronologi cerita. Setiap topik dibahas secara jelas dan didukung data yang lengkap. Melalui buku ini juga, Huub De Jonge membuka pikiran masyarakat Indonesia, agar melihat budaya Madura dalam perspektif yang lebih luas, karena ia melihat budaya Madura itu luhur sebagaimana budaya Jawa dan etnis lain di Indonesia. Buku ini menjadi kontribusi ilmiah yang bisa dijadikan referensi oleh para peneliti yang ingin mengkaji Madura.
Buku ini berisi 10 esai, yang bila dicermati dapat dikelompokkan ke dalam tiga tema, yaitu Madura pada masa kolonial (esai 1, 2, dan 7), budaya dan karakter orang Madura (esai 3-6, dan esai 8-9), dan kebiasaan ziarah ke makam keramat (esai 10). Namun, urutan pengelompokan esai pada buku ini tampak kurang sistematis sehingga membuat konsentrasi pembaca terpecah. Esai pertama dan kedua memang sistematis. Namun, esai ke-7: “Negara dan Kesejahteraan pada Kolonial akhir” terasa mengganggu, karena sebenarnya esai itu berkaitan dengan esai pertama dan kedua. Esai kesepuluh: “Ziarah dan Islam Lokal di Jawa” pun tidak berkaitan langsung dengan Madura. Jadi terkesan hanya sebagai pelengkap. Namnun demikian, secara keseluruhan karya ini sangat bermanfaat sebagai referensi bagi siapa saja yang ingin mendalami karakter dan budaya Madura (Zuq)