Dua Penambang Pasir
Sipe280x Buletin-khidmah Uswah
Pagi itu, masyarakat bergotong-royong menggali tanah. Ada yang menumpuk batu-batu yang berserakan. Ada juga yang membabat semak belukar. Hujan deras yang tadi malam mengguyur kampung kecil itu, menyebabkan areal pemakaman yang terletak di atas bukit mengalami longsor. Makam-makam tua yang terletak di bibir tebing, ikut ambrol. Tulang-belulang berserakan.
Penduduk berusaha menguburkan kembali tulang-belulang itu dalam satu liang kubur. Sedangkan makam yang hanya mengalami sedikit kerusakan, ditimbun kembali seperti sedia kala.
Di antara reruntuhan tanah yang masih basah itu, orang-orang menemukan dua sosok mayat yang masih utuh. Keduanya berada di liang berbeda, tapi berdekatan. Tubuhnya masih sempurna. Tidak ada bau yang menyengat. Hanya kain kafannya yang tampak lusuh dimakan usia.
Penemuan dua mayat itu menimbulkan tanda tanya; mayat siapakah gerangan? Bukankah kuburannya sudah berumur puluhan tahun? Kenapa tubuh mereka tidak dimakan ulat, atau hancur bersatu dengan tanah?
Beberapa saat setelah dua mayat itu dikuburkan kembali, Kiai Abdullah (bukan nama sebenarnya), salah seorang kiai terkemuka di kampung itu, mengungkap identitas keduanya. Konon, itu adalah sepasang suami-istri yang hidup pada dekade 1920-an. Mereka sebenarnya bukan berasal dari Madura, melainkan pendatang dari sebuah kabupaten di ujung timur Pulau Jawa.
Sehari-harinya, sepasang suami-istri yang tinggal di rumah kecil di pinggir sungai itu, dikenal sebagai penambang pasir. Antara pukul 9 pagi hingga pukul 1 siang, keduanya mengais butiran-butiran pasir yang diangkut memakai pelepah daun kelapa. Keduanya tidak memiliki keturunan, sehingga suasana rumah itu selalu sepi.
Suatu hari, Shahib (bukan nama sebenarnya) berkunjung ke rumah kedua pasangan itu. Shahib adalah teman sang suami saat menimba ilmu di beberapa pondok di pulau Jawa. Shahib datang ke sana untuk bersilaturrahim, setelah lima kali bertemu keduanya di Mekkah saat melaksanakan ibadah haji.
Betapa terkejutnya Shahib, saat mengetahui bahwa pekerjaan suami-istri itu ”hanya” menambang pasir. Shahib tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa naik haji, padahal biayanya sangat mahal dan jarak tempuhnya sangat jauh (saat itu jamaah haji masih menggunakan jasa kapal laut). Ditambah lagi, hasil penjualan pasirnya tidak seberapa. Untuk biaya makan sehari-hari saja, rasanya cuma pas-pasan.
”Allah tidak akan pernah melupakan para kekasih-Nya,” ujar sang teman ketika didesak oleh Shahib untuk bercerita. ”Jika seseorang telah menjadi kekasih Allah, yang gelap terasa terang, yang jauh terasa dekat, yang sulit akan dimudahkan,” tambahnya.
”Kami membaca al-Qur’an setiap hari.” Pengakuan terakhir ini menyadarkan Shahib, bahwa pasangan itu adalah penghafal al-Quran sejak masih mondok. ”Saat mengambil segenggam pasir, kami selalu membacakan ayat al-Qur’an,” tambah sang teman. Dan di akhir perbincangan, sang teman berpesan: ”Jangan ceritakan rahasia ini kepada siapa pun, sebelum kami meninggal dunia.”
”Saya adalah orang kedua yang mengetahui kisah ini dari penuturan saudara Shahib,” demikian Kiai Abdullah mengakhiri ceritanya. (Sipe)