Al-Azhar Mau Dirampas
Asr295x Buletin-khidmah Fenomena
Oleh Hasani Utsman
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir, Kelahiran Pamekasan Madura
Â
Awal tahun 2012, saya mendapatkan pertanyaan dari seorang teman di Indonesia: Al-Azhar itu milik siapa? Mungkin yang dimaksud adalah: Al-azhar itu milik golongan apa? Pertanyaan seperti itu sangatlah wajar, karena para mahasiswa Al-Azhar memang berasal dari berbagai negara, dengan latar belakang budaya dan afiliasi politik serta keagamaan yang berbeda-beda.
Tidak perlu menunggu lama bagi saya untuk menjawab pertanyaan itu. Saya jawab, bahwa Al-Azhar adalah milik umat Islam di seluruh dunia.
Ya, Al-Azhar adalah milik umat. Ini fakta yang sulit dibantah, karena dari sekitar 250 ribu mahasiswa Al-Azhar, 120 ribu di antaranya adalah mahasiswa asing dari berbagai belahan dunia. Mereka datang dari kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, Teluk Persia, Afrika, Eropa, hingga Amerika.
Â
Euforia
Saya tiba di Mesir pada awal tahun 2009, saat revolusi 25 Januari 2011 belum terjadi. Mesir memiliki banyak warisan peradaban, tapi yang membuat saya datang ke Mesir hanyalah Al-Azhar, universitas tertua di dunia, gudangnya ilmu dan ulama.
Revolusi memang selalu membawa euforia. Hal itu juga terjadi di Mesir. Individu yang sebelum revolusi sudah “politis”, pasca-revolusi menjadi semakin politis. Individu yang dulunya cenderung apatis, sekarang aktif dengan sikap politiknya sendiri-sendiri. Revolusi 25 Januari telah melahirkan dialektika politik baru ala Mesir. Politik sungguh-sungguh masuk pada semua gelanggang kehidupan, tak terkecuali Al-Azhar sebagai bagian penting dari Mesir.
Rezim politik mana yang tidak tertarik dengan nama besar Al-Azhar? Ideologi keagamaan baru mana yang tidak ngiler dengan sumber daya dan peranannya yang mendunia? Dengan mengatasnamakan Al-Azhar, banyak urusan dapat terselesaikan dengan mudah.
Awal tahun 2012, Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP)—sayap politik Ikhwanul Muslimin, menjadi pemenang pemilu parlemen pertama pasca revolusi, disusul partai Al-Nour yang menjadi sayap politik kaum Salafi-Wahabi. Kemenangan Ikhwanul Muslimin semakin sempurna setelah Mohammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin, terpilih menjadi Presiden.
Tanggal 2 April 2013, sekitar 500an mahasiwa Al-Azhar yang menempati asrama di distrik Nasr City mengalami keracunan makanan. Essam El-Erian, seorang pejabat senior FJP mengatakan bahwa pemimpin universitas harus bertanggung jawab. Hanya beberapa jam setelah itu, ratusan mahasiswa dari Pemuda Ikhwanul Muslimin dan Pemuda Salafi-Wahabi, berdemo turun ke jalan dengan spanduk-spanduk yang berisi tuntutan agar Dr. Osama Al-Abd mundur dari jabatan Rektor Al-azhar. Entah logika apa yang dipakai para pendemo itu, sehingga bisa berkesimpulan bahwa memasak adalah tugas rektor.
Namun, seiring perjalanan waktu, tuntutan ratusan mahasiswa itu diakomodasi juga oleh Syaikh Ahmad Tayeb, Grand Syaikh Al-Azhar, yang akhirnya memecat Dr. Osama Al-Abd. Anehnya, setelah tuntutan pemecatan rektor dikabulkan, para aktivis Ikhwanul Muslimin dan Wahhabi akhir-akhir ini juga menuntut Syaikh Ahmad Tayeb mundur dari jabatan Grand Syaikh Al-Azhar.
Jika melihat kenyataan ini, agaknya Al-Azhar memang sangat penting bagi syahwat politik Ikhwanul Muslimin dan Salafi-Wahabi. Karena, bila Al-Azhar berhasil dikuasai, kelak mereka akan menguasai dunia Islam.
Â
Guru dan Orang Tua
Bagi mayoritas mahasiswa Al-Azhar, para masyayikh itubukan hanya guru, tapi juga orang tua, termasuk bagi saya sendiri. Para masyayikh telah mencurahkan seluruh hidupnya untuk membimbing kami, para mahasiswa. Sangat tidak patut bila “seorang anak” menuntut “orang tuanya” mundur dari jabatan “keorang-tuaan”.
Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan dan kesabaran kepada para masyayikh dalam menjaga, merawat, dan mengembangkan Al-Azhar sebagai gudangnya ilmu, tempat melahirkan para ulama dan intelektual Muslim dari berbagai penjuru dunia. Saya juga berharap, semoga umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Madura, juga ikut mendoakan agar Al-Azhar mampu menolak kepentingan-kepentingan politik yang berupaya menyusup dan mencabut budaya ilmu, budaya akademik, dan budaya akhlakul karimah dari dalam rahimnya.()