Salman al-Farisi, Sang Pencari Kebenaran Sejati
esoftHMD186x Buletin-khidmah Uswah
Oleh K. Jamali Salim*
Hari itu kaum muslim tengah bersiap menghadapi Perang Ahzab—dikenal juga dengan sebutan Perang Khandaq. Mereka bekerja keras menggali parit, bermandikan keringat. Nabi menetapkan setiap sepuluh orang menggali lubang empat puluh hasta. Setiap sisi parit diserahkan pada satu kelompok Muhajirin atau Ansar, sehingga keduanya saling bersaing.
Khusu Salman al-Farisi, ia bekerja sendirian. Ia luar biasa, karena kerjanya sebanding dengan kerja sepuluh orang. Karena itu, kelompok Muhajirin berkata, “Salman kelompok kami.” Ia memang pendatang di Madinah, seperti mereka.
Tapi, kelompok Ansar tak kalah saing. Mereka juga berteriak, “Salman kelompok kami.” Sebab, ia sudah di Madinah sebelum peristiwa hijrah.
Sejak itulah nama Salman al-Farisi berkibar.
Salman al-Farisi orang Persia (Iran) dari Asfahan, tepatnya dari desa Jey. Ayahnya seorang tokoh Majusi. Salman sendiri aktif sebagai abdi penyala api yang mereka sembah.
Suatu hari, waktu keluar dari rumah dan berjalan melewati gereja, ia mendengar suara umat Kristen bersembahyang. Ia pun masuk. “Demi Allah, ini lebih baik dibanding agama kami,” batinnya.
Sejak itu ia berusaha pergi dari rumah untuk bergabung dengan rombongan kristiani menuju Syria. Di sana ia langsung tinggal bersama pimpinan gereja. Tapi, ia kecewa karena ternyata pimpinan gereja itu jahat. Ia menyuruh orang-orang bersedekah, tetapi setelah terkumpul, sedekah itu disimpannya sendiri, tidak disalurkan kepada fakir miskin.
Setelah meninggal, pimpinan gereja digantikan digantikan oleh seorang lelaki sempurna: rajin shalat, zuhud, santun, dan mencintai akhirat. Sebelum wafat, ia berpesan kepada Salman untuk pergi ke Mushil menemui satu-satunya orang saleh yang masih teguh memegang agama.
Salman menemui orang saleh itu dan tinggal bersamanya. Menjelang wafat, ia berpesan agar Salman menemui orang saleh di Nasben—salah satu kota di Jazirah. Setelah ia wafat Salman pergi menemui orang itu dan tinggal bersamanya.
Sepeninggal orang saleh di Nasben itu Salman pergi ke Amoria untuk menemui orang saleh lain di sana. Di tempat baru ini Salman tinggal cukup lama. Ia bekerja sampai mempunyai beberapa ekor kambing dan sapi. Dari orang saleh ini, Salman menerima pesan, “Tak lama lagi akan muncul seorang nabi yang diutus menyampaikan agama Ibrahim. Ia berasal dari bumi Arab, lalu hijrah ke sebuah tempat antara dua bumi berbatu hitam. Tempat itu berjejal pohon kurma. Tanda-tandanya jelas; ia makan hadiah, bukan sedekah (zakat), di antara kedua pundaknya terdapat cap kenabian. Jika kamu mampu, pergilah ke negeri itu!”
Ketika melihat sekelompok saudagar bergerak ke Arab, Salman ikut. Tapi, setiba di W?d al-Qur?—lembah antara Madinah dan Syria—mereka menjual Salman sebagai budak kepada seorang Yahudi. Kemudian ia dijual lagi Yahudi dari Bani Qurayzhah. Di tempat baru ini Salman menyaksikan apa dilukiskan saleh Amoria itu.
Suatu hari, ketika berada di atas pohon kurma, seseorang datang menemui majikannya sambil menyumpah-nyumpah. “Binasalah Bani Qaylah—Aus dan Khazraj. Saat ini mereka tengah berkumpul di Qub?’ untuk menyambut seorang lelaki dari Madinah yang mereka anggap nabi.”
Mendengar penuturan itu Salman gemetar dan hampir saja ia terjatuh dari pohon kurma itu. Ia bergegas turun. “Apa kamu bilang?” tanyanya penasaran.
“Hei, Budak, apa urusanmu? Selesaikan pekerjaanmu,” sang majikan marah.
Sorenya, diam-diam Salman bergerak ke Quba. Ia sodorkan makanan ke hadapan Nabi sambil berkata, “Ini sedekah untukmu, maknlah!”
Nabi menyuruh sahabat menyantap makanan itu, sementara beliau sendiri tidak menyentuhnya. “Satu,” batin Salman.
Setelah Nabi tiba di Madinah, Salman datang lagi membawa makanan untuk beliau, “Ini hadiah untukmu.”
Nabi langsung makan dan memerintahkan para sahabat menyantapnya bersama beliau. “Dua,” batinnya lagi.
Untuk yang ketiga kalinya Salman berkunjung kepada Rasulullah. Saat itu beliau sedang di Baq?’ al-Gharqad—pekuburan penduduk Madinah—mengantarkan jenazah salah serang sahabat beliau. Duduk di tengah-tengah para sahabat, beliau mengenakan dua lembar jubah. Setelah memberi salam Salman minta beliau membelakangi untuk melihat adakah tanda di punggung beliau seperti yang diceritakan orang saleh Amoria itu. Rupanya beliau mengerti dan langsung melepas jubah dari punggungnya. Begitu melihat tanda kenabian itu, Salman menciumnya dengan haru. Air matanya berlinang, tak kuasa menahan sedu.
Itulah Salam al-Farisi, sang pencari kebenaran sejati. Kelak setelah menebus diri dan bebas dari status budak, Salman gigih membela Islam dalam berbagai pertempuran. Pada masa pemerintahan Umar ibn al-Khaththab ia ditunjuk menjadi gubernur di Madain, Persia. Namun begitu, ia tetap zuhud. Ketika berkunjung ke rumahnya sebelum wafat pada 8 Shafar 35 H., Sa‘d ibn Abi Waqqash menuturkan “Tak ada yang kulihat di rumahnya selain satu piring dan sebuah baskom air.” Padahal, ia seorang gubernur!
Â
*K. Jamali Salim,
sekretaris MWC NU Pragaan dan staf ahli Buletin Khidmah