Revitalisasi Pendidikan
esoftHMD320x Buletin-khidmah Gagasan
(Menumbuhkembangkan Kecintaan terhadap Pendidikan Agama)
Memanusiakan manusia. Inilah mungkin definisi pendidikan yang kiranya tidak usah diperdebatkan. Semua tokoh pendidikan—dari Muhammad Natsir sampai tokoh pendidikan saat ini—seakan meng-iya-kan pemaknaan pendidikan tersebut. Manusia harus menemukan jati dirinya sebagai manusia yang sesungguhnya sehingga ia betul-betul menjadi manusia anfa’uhum li al-nas (paling maksimal memberi manfaat kepada masyarakat).
Dari sini sudah bisa dibaca, pendidikan merupakan satu-satunya garda depan yang diyakini sebagai malaikat penyelamat terhadap kelana panjang manusia itu sendiri. Maka, jangan disalahkan kalau kemudian manusia tanpa pendidikan akan menemukan kegelapan masa depan.
Namun demikian, pendidikan tidak selamanya mendapat tempat di hati masyarakat luas. Hal ini disebabkan banyaknya out put pendidikan yang terbukti tidak berkualitas dan jauh dari harapan. Ditambah lagi dengan praktik-praktik militerisme yang kerap kali terjadi dalam dunia pendidikan. Bahkan, praktik “najis” yang kerap kali dilakukan oknum pendidikan menjadi referensi utama masyarakat untuk mengatakan bahwa pendidikan telah gagal total. Ada yang salah dengan pendidikan?
Sulit meng-iya-kan, sulit menyangkal. Fakta dan realita menjadi bukti vital mengenai kejanggalan-kejanggalan dalam dunia pendidikan. Dari potret buram pendidikan itu mungkin pihak pemain pendidikan dituntut untuk sering melakukan evalusi dan introspeksi, hingga kemudian akan ditemukan titik permasalahan dan solusi jitunya.
Dari itu semua, nampaknya ada satu solusi untuk sedikit mengurangi kejanggalan tersebut. Yaitu, menjadikan bidang studi agama sebagai satu-satunya materi utama dan diutamakan sekaligus memberikan rangsangan baru terhadap anak didik untuk bersemangat dalam mengikuti materi tersebut.
Memang agak lucu melihat kurikulum di sekolah negeri ataupun swasta, alokasi waktu untuk materi agama sangatlah minim. Di sekolah negeri, materi agama hanya mendapat jatah 2 jam dalam seminggu, sehingga mereka yang terlanjur memilih sekolah negeri sebagai tempat melabuhkan dan mencurahkan masa depan sama sekali tidak mempunyai kemampuan materi agama.
Lebih lucu lagi, sekolah swasta yang katanya menjadi patner Kemenag, ternyata ikut-ikutan meminimalkan alokasi waktu pelajaran agama. Bayangkan, lembaga yang murid-muridnya seharusnya lebih unggul pengetahuan agamanya dibandingkan mereka yang bersekolah di lembaga yang tidak menggunakan simbol Islam, hanya menyediakan waktu 3-4 jam perminggu untuk materi agama.
Alokasi waktu di atas semakin diperparah dengan keberadaan guru agama yang tidak mempunyai kompetensi utuh di bidang agama, sehingga dikhawatirkan guru yang bersangkutan akan memberikan konsep-konsep yang salah terkait dengan materi yang diampunya.
Abudin Nata (2000) menyatakan bahwa kurangnya pertumbuhan dan perkembangan ilmu pendidikan Islam itu tampaknya bukan hanya terjadi pada masa sekarang, tetapi juga pada masa lampau. Sejak dulu hingga sekarang belum banyak pakar dan ulama Islam yang meneliti masalah pendidikan Islam. Kondisi seperti itu, kata Abudin Nata, harus segera diatasi dengan cara menumbuhkan dan mengembangkan ilmu pendidikan Islam melalui serangkaian kajian dan penelitian.
Alokasi waktu 3-4 jam perminggu tidaklah cukup, apalagi peserta didik tidak begitu jreng mengikuti materi agama karena dianggap materi klasik yang tidak menjanjikan masa depan. Sungguh, sebuah alokasi waktu yang tidak adil terhadap materi agama.
Padahal, betapa pentingnya pendidikan agama. Sampai-sampai beberapa tokoh terkenal mencoba menawarkan pemikiran agar minimnya pendidikan agama di lembaga pendidikan formal dikritisi ulang.
Terkait dengan materi agama, khususnya yang berhubungan dengan moralitas, Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa ada beberapa hal yang harus dipelajari dalam rangka pembentukan moral anak didik ke depan. Di antaranya, kepada anak didik harus diajarkan bukan hanya hal-hal yang berkenaan dengan kebutuhan fisik, tetapi lebih-lebih yang berhubungan dengan kebutuhan mental.
Sementara Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa mengajarkan ilmu kepada seseorang merupakan sedekah para nabi. Menuntut ilmu merupakan ibadah . Memahaminya secara mendalam merupakan bentuk ketaqwaan kepada Allah. Mengkajinya adalah jihad. Dan, mendiskusikannya merupakan tasbih.
Kedepan, tantangan akan semakin dahsyat. Dibutuhkan segala macam cara untuk menghadang laju tantangan tersebut. Dan, menanamkan pendidikan agama terhadap anak didik sejak dini merupakan satu di antara beberapa amunisi yang diyakini sangat ampuh.