Perempuan di Ranah Publik
esoftHMD367x Buletin-khidmah Muslimah
Hasbunia Helmah*
Dunia harus berterima kasih kepada Islam. Berkat Islam, perempuan terselamatkan—selamat dalam arti seluas-luasnya. Menurut Dr. Yusuf al-Qaradhawi, ketika Islam datang, dunia menggenggam wanita dalam tiga sudut pandang. Pertama, pandangan yang sama sekali tidak mengakui eksistensi wanita sebagai manusia. Wanita dipandang bukan manusia. Ia sejenis iblis yang hanya akan mengganggu kehidupan di bumi.
Kedua, pandangan yang meragukan apakah wanita itu manusia atau bukan. Wanita tidak memiliki status yang jelas dan pasti. Ia makhluk setengah manusia setengah hewan.
Ketiga, pandangan yang mengakui eksistensi wanita sebagai manusia, tapi sebatas sebagai pelayan laki-laki. Peran wanita tak lebih dari sebatas babu yang melayani kebutuhan manusia sekaligus sebagai teman tidur dan tempat menitipkan benih untuk kelangsungan hidup kaum laki-laki.
Islam datang untuk menghancurkan ketiga bentuk pandangan di atas. Dalam pandangan Islam, wanita—dalam hal-hal tertentu—setara dengan, atau bahkan lebih unggul dibanding, laki-laki. Wanita tak hanya diakui sebagai ibu yang memiliki kedudukan agung dan terhormat, sebagai individu yang memiliki hak dan kewajiban khusus, tapi juga sebagai komponen masyarakat yang memikul tanggung jawab menciptakan kehidupan yang maju, harmonis, dan beradab. Allah menyebut tanggung jawab sosial ini sebagai amar makruf nahi mungkar.
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Dalam ayat di atas laki-laki dan perempuan disebutkan sejajar dalam satu garis keimanan, diseru untuk saling tolong dalam aksi amar makruf nahi mungkar. Juga saling tegur untuk meluruskan. Pernah ketika Umar ibn al-Khaththab berceramah di atas mimbar masjid, tiba-tiba seorang wanita menegurnya. Dia katakan bahwa apa yang disampaikan Umar dalam ceramahnya waktu itu keliru. Dan, Umar dengan terbuka mengakui, “Wanita itu benar dan Umar salah!”
Kasus Umar ini menunjukkan bahwa pada masa itu wanita dibiarkan pergi ke masjid untuk mengikuti pengajian atau untuk shalat. Bahkan, tak hanya menjadi pendengar pasif tanpa sikap kritis, mereka juga mengajukan pendapat dan pandangan berbeda. Tentu, wanita yang menegur itu memiliki ilmu yang mumpuni dan pandangan yang luas. Lebih dari itu, ia juga mempunyai keberanian. Tanpa kapasitas ilmu yang memadai serta wawsan yang luas, bagaimana mungkin ia berani menyampaikan teguran langsung kepada Umar?
Asma’ bint Yazid, atau biasa dipanggil Ummu Salamah, adalah juru bicara kaum wanita pada masa Rasulullah. Suatu hari ia menghadap Rasulullah yang sedang duduk bersama sahabat. Diutarakannya apa yang menjadi unek-unek menyangkut hak istimewa kaum laki-laki. Ia protes karena ia dan kaum wanita sesamanya tidak diberi kesempatan ikut berperang, tidak diberi kebebasan bergaul dan berkumpul sebagaimana kaum laki-laki.
Rasulullah menjawab, “Pergilah, Asma’! Katakan kepada kepada semua wanita, jika kalian patuh kepada suami, mencari rida dan petunjuknya, maka kalian memperoleh pahala seperti pahala kaum laki-laki yang kausebutkan tadi.”
Beberapa hal yang bisa kita petik dari peristiwa Asma’ di atas, pertama bahwa pada masa Nabi kaum wanita sudah biasa berkumpul dan membicarakan persoalan-persoalan keagamaan—dan tidak menutup kemungkinan juga menyinggung masalah-masalah sosial.
Kedua, wanita yang sudah kawin yang ingin terjun ke ranah publik untuk tujuan amar makruf nahi mungkar mesti mendapat persetujuan suaminya. Ini penting mengingat wanita mempunyai kewajiban-kewajiban khusus di ranah keluarga, baik terhadap suami maupun anak-anaknya. Dan, tentu saja kesepahaman dengan suami menyangkut hal ini perlu dibangun secara kokoh sehingga tidak menimbulkan efek buruk semisal retaknya kehidupan rumah tangga. Di sinilah titik penting kerja sama dan tolong-menolong antara orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas.
*Hasbunia Helmah, ibu rumah tangga, tinggal di Jaddung.