Penggagas Madrasah Annuqayah Guluk Guluk Sumenep
Asr226x Buletin-khidmah Figur
K.H. Abdullah Sajjad adalah putra K.H. Muhammad Asy-Syarqawi Al-Qudusi dari Nyai Mariyah Idris Patapan. Lahir di Guluk-Guluk Sumenep Madura pada sekitar tahun 1895. Tanggal dan bulannya tak diketahui secara pasti. Demikian pula masa kecilnya tak terlacak secara memadai. Yang terekam dari jejak kehidupan beliau adalah masa semenjak beliau mengembara menimba ilmu di berbagai pondok pesantren, baik di Madura maupun di Jawa. Awalnya beliau mondok di Banyuanyar Bangkalan dan belajar langsung kepada K.H.M. Khalil, tokoh legendaris Pulau Garam Madura itu. Setelah itu beliau melanjutkan pengembaraan ilmunya ke pulau Jawa. Pertama beliau berguru kepada K. Faqih, Panji Siwalan Sidoaro, lalu meneruskan ke Pondok Pesantren Sidogiri dan cukup lama beliau di sini. Untuk menyempurnakan ilmu dan pengalamannya, beliau lalu melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng dan berguru langsung kepada K.H. Hasyim Asy’ari. Diduga kuat ilmu yang beliau pelajari selama di pondok banyak ditulis dengan tangan beliau sendiri. Terbukti kebanyakan kitab yang beliau tinggalkan kelak dibeli sepulang beliau dari pondok.
Tak cukup sampai di situ, kehausan beliau akan ilmu agama tampak ketika menunaikan ibadah haji. Selama berada di Tanah Suci itu, di sela-sela melaksanakan ibadah beliau menyempatkan diri untuk mengaji demi memperkaya khazanah keilmuan beliau.
Tak banyak yang diketahui tentang aktivitas beliau selama belajar di pesantren-pesantren tersebut. Namun, kelak setelah beliau pulang ke kampung halaman dan mendirikan pesantren sendiri di Annuqayah, beliau dikenal alim dalam berbagai displin ilmu agama, dan—terutama—beliau memiliki apresiasi sangat tinggi kepada Al-Qur’an.
Pulang dari pondok, K.H. Abdullah Sajjad dikawinkan oleh ibunya dengan sepupunya dari Kembang Kuning Talang Pamekasan, Nyai Shafiyah Munawwar. Kemungkinan besar beliau tidak mengenal calon istri ini sebelumnya. Tetapi, karena sangat tunduk dan patuh kepada sang ibu, beliau menerima perkawinan itu dengan ikhlas dan lapang dada. Dari Nyai Shafiyah ini K.H. Abdullah Sajjad memiliki enam putra dan putri; Nyai Maimunah (istri K. Hasyim, Sumber Payung), Nyai Muadzah (istri K.H. Abbasi), K.H. Ahmad Basyir AS, K.H.M. Ishamuddin AS, K.H. Abdul Hafizh AS, dan Nyai Arifah (istri. K.H. Mahfudh Husaini).
Setelah Nyai Shafiyah wafat, K.H. Abdullah Sajjad kawin lagi dengan Nyai Hj. Aminah Az-Zahra’. Tidak seperti dengan istri pertama, dengan istri kedua ini beliau tak ada hubungan kekerabatan. Hanya, perempuan miskin asal Pananggungan ini memiliki raut wajah yang cantik. Perkawinan dilangsungkan tidak begitu lama setelah meninggalnya Nyai Shafiyah. Dari perkawinan ini lahir tiga orang putra-putri; Nyai Hj. Maftuhah (istri Almarhum K.H. Ahmad Fauzi Sirran), K.H. Abdul Basith AS, dan Almarhumah Nyai Hj. Zainab Khabirah (istri K.H. Abdul Muqsith).
Â
Membuka Pesantren Baru
Pondok Pesantren Annuqayah awalnya hanya Lubangsa Raya. Di situlah K.H. Muhammad Asy-Syarqawi merintis pondok pesantren bersama sang istri, Nyai Mariyah. Namun, setelah K.H. Abdullah Sajjad pulang dari pondok dan dan kawin dengan Nya Shafiyah, beliau lalu menempati lahan baru pemberian (hibah) dari salah seorang anggota masyarakat kepada beliau. Di tempat baru inilah beliau mulai melaksanakan aktivitas keilmuannya secara total. Beliau menggelar pengajian kitab pada setiap usai shalat berjamaah, kecuali shalat Maghrib dan Subuh yang diisi dengan pengajian Al-Qur’an. Di samping mengajar santri-santri yang mulai berdatangan, setiap Sabtu malam beliau juga menggelar pengajian umum untuk masyarakat. Selain masyarakat sekitar, pengajian tersebut juga diikuti masyarakat luar. Ada dari Penanggungan, Beragung, Dundang, Payudan Daleman, Jaddung, Moncek, Gilang, Karang Cempaka, dan yang lain. Umumnya mereka datang berjalan kaki. Satu dua ada yang naik kuda, dan satu orang dari Karang Cempaka naik sepeda motor. Dalam perkembangannya kelak, peserta pegajian umum ini meluas hingga ke berbagai daerah kabupaten Sumenep dan Pamekasan.
Begitulah tempat baru ini menjadi pesantren sampai sekarang dan dikenal dengan sebutan Latee—konon, nama Latee diambil dari nama pemilik asal lahan tersebut. Dan, itulah awal pemekaran dan pembiakan pesantren Annuqayah menjadi wilayah-wilayah dengan kebijakan otonom.
Lama mengembara di rimba ilmu, pindah dari satu pondok pesanten ke pondok pesantren lain, membuat K.H. Abdullah Sajjad benar-benar kaya akan ilmu agama. Hampir seluruh disiplin ilmu agama beliau kuasai. Beliau mengajar Ilmu alat (dari Sharraf, Nahwu, Balaghah, Arudh, hingga Qawafi). Untuk memudahkan santri belajar Ilmu Tauhid, beliau menadzamkan Qatrul Ghayts, kitab peninggalan sang ayah yang berupa tulisan tangan dilengkapi syakal dan arti bagi mufradat (kosa kata) yang danggap sulit. Ilmu Fikih dan Tasawuf juga beliau ajarkan, dan tampaknya beliau sangat suka dan antusias mengajar kitab al-Hikam karya Imam Ibn Athaillah al-Sakandari. Beliau sering menulis istighatsah yang terdapat pada akhir kitab tersebut lalu dibagi-bagikan kepada santri kalong (Madura: colokan) yang terdiri dari anggota masyarakat.
Demikian juga beliau mengajar hadits. Untuk ini beliau meninggalkan empat buah kitab Syarh Al-Arba?n Al-Nawawiyyah, sebuah kitab hadits permulaan yang sangat penting dipelajari. Di samping itu, beliau suka mengajar kitab al-J?mi‘ al-Shagh?r sehingga beliau sangat lancar membaca kode-kode yang terdapat pada setiap akhir hadits.
Seiring dengan terus bertambahnya jumlah santri dan mulai tersedianya santri-santri senior yang memiliki kualifikasi keilmuan memadai, beliau lalu memperluas lahan pesantren dan mendirikan madrasah dengan sistem klasikal, meskipun materi ajarnya semua ilmu agama. Ide pendirian madrasah ini tentu tak lepas dari pengalaman beliau ketika belajar di Pesantren Tebuireng Jombang yang sudah lebih dulu mengembangkan sistem pendidikan dengan mendirikan madrasah. Adapun visi makro yang beliau idam-idamkan adalah menciptakan masyarakat islami sesuai dengan paham sang ayah, yaitu paham Ahlussunnah Wal Jamaah Madzhab Syafi‘i. Untuk mewujudkan visi tersebut, beliau melakukan pengkaderan santri secara intensif sehingga kelak mereka dapat menyebar-luaskan paham tersebut ke tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sekadar menyebut contoh santri yang dikader beliau, di Banyuwangi ada K.H. Ali Mufi, di Jember ada K.H. Syamsul Arifin Karangharjo, di Situbondo ada Dhafdir Munawwar, ada K.H. Bakar Dukuh Mencek, ada K.H. Munir Kemuning. Tentu tak berbilang santri-santri kaderan beliau yang tersebar terutama di dua kabupaten Sumenep dan Pamekasan (Zuq/asr).
Bersambung..