Meraih Selaksa Makna Dengan Membaca
esoftHMD349x Buletin-khidmah Fenomena
Oleh: A. Musyfiqurrahman*
Di era globalisasi ini, berbagai arus informasi tak dapat dihindari, mudah diakses bahkan mudah diterima lewat media cetak maupun elektronik. Dari yang manual sampai yang digital. Kalau tak ingin ketinggalan “kereta” informasi dan wawasan, tentu kita harus intens membaca. Bukankah perintah membaca (iqra’) adalah wahyu pertama yang diterima nabi Muhammad SAW, yang mengisyarahkan bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui tulisan dan bacaan?
Mengapa nama al-Ghazali -pengarang Ihya’ Ulumuddin- mencuat di berbagai belahan dunia? Mengapa Bung Karno menjadi orang hebat? Mengapa Buya Hamka menjadi ulama besar dan pujangga dunia? Jawabannya singkat: mereka punya kemauan, kutu buku, kreatif menggali ilmu.
Di samping itu, membaca merupakan salah satu metode belajar, memahami ilmu, menambah wawasan, memperkaya khazanah pengetahuan, dan mengakses informasi para pakar, baik dalam bentuk kitab maupun buku. Membaca—bagi mereka yang menelaah bidang ilmu—bukan sekadar memahami teks, tapi menyelami dan mengkaji, bahkan meneruskannya ke tataran aplikasi positif.
Bagi sebagian orang, termasuk penulis, membaca terkadang membosankan. Namun, kalau dibiasakan dan intensitasnya terus ditingkatkan, kebosanan akan berubah menjadi keasyikan. Sejak TK kita sudah membaca. Tak heran bila ada yang merasa telah kenyang dengan ilmu. Padahal, untuk menjadi besar orang tidak bisa dilepaskan dari bacaan. Mungkin ada yang berpikir, membaca itu membuang waktu. Lebih-lebih saat melihat tebal-tipisnya buku. Kapan akan selesai, sementara kesibukan keluarga dan urusan pribadi masih banyak yang belum teratasi.
Barangkali, cara paling tepat untuk menumbuhkan minat baca adalah mengubah mindsetdanpola pikir, bahwa membaca tidak rumit dan tidak membuang-buang waktu. Lebih dari itu, teguhkan dan luruskan niat.
Dr.’Aidh bin Abdullah al-Qarni, penulis produktif mengemukakan 11 manfaat membaca. (1) Menghilangkan kecemasan dan kegundahan. (2) Membebaskan diri dari kebodohan. (3) Membuat seseorang terlalu sibuk untuk bergaul dengan orang-orang malas dan tidak mau bekerja. (4) Mengembangkan kefasihan dan keluwesan berbahasa lisan maupun tulis. (5) Membantu mengembangkan pemikiran dan menjernihkan cara pikir. (6) Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan daya ingat. (7) Memetikl manfaat dari pengalama orang lain, seperti mencontoh kearifan orang bijak dan kecerdasan sarjana. (8) Mengembangkan kemampuan merespons ilmu pengetahuan maupun mempelajari disiplin ilmu, lalu mengamalkannya dalam kehidupan. (9) Memantapkan keyakinan ketika membaca buku-buku yang bermanfaat, terutama karya-karya orang saleh. (10) Menyegarkan pikiran dan menyelamatkan waktu shingga tidak sia-sia. (11) Menguasai banyak kosa kata, mempelajari berbagai model kalimat, bahkan meningkatkan kemampuan menyerap konsep untuk memahami teks dan apa yang di balik teks.
Di dunia jurnalistik, kegiatan menulis tidak lepas dari kegiatan membaca. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, kemampuan menulis terkait erat dengan kemampuan membaca. Makin banyak membaca makin bagus mutu tulisan. Para penulis telah memungut dan melahap ratusan, atau malah ribuan bacaan. Hasil bacaan itu kemudian mereka endapkan dalam hati dan pikiran untuk kemudian diracik menjadi aneka macam menu dalam sebuah tulisan. Bagi mereka, membaca bukan sekadar obat yang dibutukan saat-saat kritis, tapi menjadi kebutuhan layaknya makan dan minum. Tanpa membaca, pikiran akan macet dan miskin inspirasi sehingga sukar menghasilkan tulisan. Tentu, membaca di sini bukan sekadar membaca yang tersurat (tulisan), melainkan juga membaca yang tersirat (fenomena). Mengutip ungkapan Habiburrahman El Shirazy bahwa resep menulis itu ada 10: membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, dan membaca. Bukankah membaca tak hanya ‘melahap’ kata tapi juga meraih selaksa makna. Tunggu apa lagi?
*Penulis asal Pamekasan, sekarang berdomisili di Jaddung Pragaan.