Media Dakwah

BUMIAswaja

Media Dakwah MWCNU Pragaan

Masjid Kesepian

Rabu, 1 Januari 2014 04:13 WIB
290x Buletin-khidmah Cerpen

Oleh: AF. Raziqi
Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) di Sumenep


 

Senja yang buram. Aku duduk terpaku menatap langit kelabu. Awan tebal membuntuti burung-burung yang berkejaran seakan berlomba mencapai sarang. Sebentar lagi hujan, pikirku. Aku duduk di teras masjid. Kuperhatikan lekuk langit yang kelabu. Seorang laki-laki lengkap dengan kopiah, baju koko, sarung kotak-kotak, dan menenteng payung yang masih tertutup rapat memasuki salah satu ruangan di samping ruang utama masjid. Mungkin muadzin atau takmir masjid ini, pikirku. Aku beranjak masuk ke dalam masjid. Sepi.

Aku bersila. adzan menggema memenuhi rongga masjid yang semula sepi dan sunyi. Ini kali pertamaku berada di masjid yang lumayan besar ini, setelah lima hari yang lalu aku pindah kontrakan yang tak jauh dari masjid ini. Sampai adzan benar-benar selesai, aku belum menemukan ada tanda-tanda orang akan berjamaah di masjid ini. Muadzin menatapku disertai senyum yang menyungging di antara keriput yang menghiasi wajah cerahnya. Kutaksir umurnya kira-kira 50 tahun yang lalu pertama kali ia jatuh dari rahim ibunya. Aku pun membalas senyumnya. Lalu dia berlalu melewati pintu samping masjid yang terbuat dari jati berukir indah itu. Suara mesin pengeras sudah benar-benar tak terdengar. Masih sepi. Hanya aku di dalam masjid ini. Aku bersiap untuk berjamaah dengan muadzin tua itu. Ah, tenyata ia pun turun dari masjid. Lah, mau kemana dia?, batinku. Heran. Siapa yang akan jadi imam? Di mana makmunya?

Dengan perasaan kecewa aku pun solat sendiri.

Setelah menyelesaikan solat dan beberapa wiridan yang biasa kubaca setiap selesai solat, aku pun tak mau lama-lama berada di masjid ini. Kuraih hp di depanku. Kuhidupkan. Lalu beranja keluar masjid. Mendung mulai berbuah gerimis. Alam mulai gelap.

Sebelum aku benar-benar turun dari anak tangga masjid, kuperhatikan sekeliling masjid. Tampak beberapa rumah yang berderet tak jauh dari halaman masjid. Sekirat 50 meter. Sepi. Tak ada seorang pun yang tampak. Pintu-pintu tertutup rapat. Yang tampak hanya dua ekor kucing yang gigil kedinginan berteduh di serambi rumah-rumah berdiding kramik itu. Berbagai pertanyaan melengkapi rasa penasaranku. Kemana penghuninya? Tidurkah? Kerjakah? Atau rumah-rumah itu memang kosong, tak berpenghuni? Kemana muadzin tua itu pergi?

Setelah kurasa cukup memperhatikan sekeliling, aku pun segera turun dari anak tangga masjid ini. Gerimis terasa menusuk-nusuk kulit menembus bajuku. Aku sedikit berlari, mencari celah gerimis yang semakin menjadi. Untung hanya gerimis. Semoga tak tambah deras, batinku sambil mempercepat langkah. Deretan rumah-rumah itu kulewati. Dua ekor kucing menatap langkahku. Mungkin mereka menertawakanku. Aku acuhi saja mereka, tatap mencari celah gerimis. Dan pas di depan poskamling, hujan semakin deras. Aku pun berteduh.

Kulepas kopiah yang sedari tadi bertengger setia di kepalaku. Sudah lembab. Kuambil hp dari dalam saku. Jam 18.25. Kuarahkan pandangan kembali ke masjid itu. Tak ada perubahan. Sepi. Sunyi. Tinggal satu lampu yang menyala, lampu di beranda masjid. Aku semakin penasara. Siapa pula yang mematikan lampu di dalam masjid itu? Bukankah muadzin tua itu sudah pulang? Ah, kenapa aku terlalu memikirkan masjid itu?

Hujan benar-benar memenjaraku dengan jeruji dingin. Lima belas menit berlalu hujan tak mau lengah membuatku gigil. Semakin deras. Lebat pula. Tatapan kukembalikan ke arah masjid yang teronggok kesepian itu. Tak ada perubahan. Aih, kenapa masjid itu benar-benar membuatku penasaran?

Twing.., hp-ku berdering, tanda sms masuk. Kubuka.

“Di, kamu di mana? Kunci kontrakan di mana?” isi sms Tomsun, teman kontrakanku yang sekaligus satu kampus denganku.

Kubalas segera, “ada di atas pintu. Diraba aja di sekitar pojok kanan. Aku terjebak hujan di kampung tetangga.”

Tomsun, dia berasal dari daerah terpencil di pulau jawa. Dari ceritnya, dia adalah anak bungsu dari tiga saudaranya yang sudah berkeluarga. Dia berasal dari keluarga ELIT (Ekonomi Sulit). Berkat kecerdasan dan bakat, dia dapat melanjutkan kuliah di kota ini, itu pun di kampus yang cukup bergengsi. Bakat yang dia miliki tak tanggung-tanggung dituangkan di kampus. Sampai saat ini dia dipercaya untuk menjadi reporter di sebuah majalah lokal. Menurutku, itu merupakan sebuah prestasi yang lumayan untuk anak sekelas dia. Dia masih semester 3. Memang dari SMA dia sudah aktif di majalah sekolah. Lantas, aku bagaimana? Ah, tak ada yang spesial dari diriku. Aku hanya orang biasa. Tak punya bakat seperti kebanyakan orang sukses. Pandai? Tidak sebegitu. Aku sering iri dibuatnya. Darinya pula aku mendapatkan banyak pelajaran dalam menjalani hidup ‘tanpa’ masalah.

Hujan semakin menggila. Hampir separuh tempat teduhku basah oleh percikan air hujan. Kembali kuperhatikan masjid kesepian itu. Tampaknya belum ada perubahan. Sepi. Namun, dalam remang kulihat seseorang menghampiri masjid dengan payung besar. Muadzin tua itu, pikirku. Ya, benar, itu dia. Pakaiannya tak berubah. Kulihat jam,18.49. Satu menit lagi isya’, pikirku. Benar. Tak lama suara serak muadzin tua itu menelisik telinga. Ada ketenangan yang merasuk lewat celah telinga dari sura muadzin tua itu. Hujan mulai reda perlahan. Lah, aku bagaimana? Kembali atau terus pulang?, batinku.

Twing.. ada sms. Kubuka.

“Di, kamu ada di mana? Jangan lupa jam 20.00 WIB, rapat di kontrakanku. Dan jangan lupa juga, hasil rapat yang kemarin dibawa. Awas, hadir!” isi sms Dina, Pimpinan Redaksi majalah sentral milik kampus, Majalah Ilham. Rapat hampir hangus dalam pikiranku dibuat masjid kesepian itu. Segera kubalas.

“Oke, Bos. Tapi doakan juga moga hujannya lekas reda. Aku terjebak hujan di kampung Bungu, nih. Tak bisa balik ke kontrakan.” Terkirim..

Tak lama, datang balasan dari Dina, “Oke.”

“Sip..” balasku singkat.

Hening kembali. Hujan sudah kembali menjadi gerimis. Kuperhatikan lagi masjid kesepian itu. Kali ini tampak ada perbedaan. Lima orang terlihat sedang duduk-duduk, atau lebih tepatnya nongkrong, di beranda masjid, lengkap dengan kepul asap rokok yang mengitari lima kepala itu. Hah, mereka nongkrong di masjid? Salah alamat paling ya? Pikiranku terus mengitari lima orang yang sedang asik ngobrol di beranda masjid. Tampaknya mereka masih muda-muda. Islam-kah mereka? Atau hanya KTP mereka saja yang tertera, agama: Islam? Kenapa muadzin tua itu tidak melarang mereka? Kan penyalah-gunaan masjid itu sangat dibenci Allah? Kemana muadzin tua itu? O, mungkin muadzin tua itu sama saja. Dia berada di bagian beranda lain bersama teman-temannya. Ah, kenapa aku terlalu mengurus mereka? Sudahlah.., batinku. Tapi tetap saja mereka dan masjid kesepian itu bergerilya dalam pikiranku.

Hujan dan gerimis sudah benar-benar reda. Aku segera berbenah diri. Kulihat jam, 19.22. Bergegas aku menuju kontrakan. Ah, masjid kesepian, desahku di tengah-tengah perjalanan.

###


O ya, aku lupa memperkenalkan diriku. Namaku Mudi. Entah dari mana Ayah memintakan nama itu untukku. Aku pun tak mengerti arti namaku. Ketika aku bertanya artinya kepada Ayah, dia pasti menjawab, “sudahlah, tak penting. Yang penting adalah kamu bisa hidup berguna untuk semua. Soal nama, tak usah kau urus.” Aku hanya bisa mendesah pasrah saat mendengar jawaban itu. Tapi bukankah nama itu adalah doa?, batinku saat itu. Ayah sangat berharap kalau aku memiliki kehidupan yang cerah di kemudian hari. Dia percaya bahwa pesantren adalah tempat yang tepat untuk mewujudkan keinginannya. Aku pun ikut saja. Entah dari mana dia percaya bahwa pesantren dapat mewujudkan keinginannya itu. Padahal dia tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Bahkan, kakak-kakakku tidak pernah dia masukkan ke pesantren. Hanya aku. Katanya, “Aku lebih yakin kamu bisa menjadi anak yang dapat mewujudkan keinginanku..,” katanya sore itu sepulang dari laut, waktu itu aku masih kelas 6 SD.

Ayah hanya lulusan SD yang sudah lebih 40 tahun menjadi nelayan, melawan badai di laut yang sarat dengan maut. Aku memang lebih dekat dengan Ayah ketimbang Ibu. Tapi hal itu bukan berarti bahwa aku lebih mencintai Ayah dibanding Ibu. Mereka berdua sama-sama sangat kucintai dan kusayangi. Tidak pernah kudengar keluhan dari mereka dalam mengurus empat anak kandungnya, meskipun kadang kami sering kehabisan pangan. Aku sangat ingat ucapan bapak ketika kondisi sulit, dia berkat, “kita tidak boleh selalu mengeluh. Yakinlah bahwa Allah masih sayang pada makhluk-Nya yang sabar menyayangi-Nya.”

Ibuku tidak pernah mengenyam dunia pendidikan. Dia tidak sekolah lantaran Nenek tidak punya biaya untuk itu. Namun hal itu bukan berarti dia tidak belajar. Dari ceritanya, dia sering meminjam buku pelajaran SD Ayah. Dia pun belajar membaca dari Ayah. Mungkin dari hal itulah rasa cinta Ayah kepada Ibu mulai tumbuh dan mengakar kuat sampai saat ini. Sungguh kisah cinta yang rumit kupahami.

Ah, Ayah, Ibu, Kakak, aku rindu kalian.

###


 

Sudah lima kali maghrib berturut-turut aku solat di masjid kesepian itu, lima hari yang lalu. Tak ada yang beda dari sebelumnya. Tetap sepi. Bahkan kemarin aku hendak mencoba untuk solat jumat di masjid kesepian itu. Ternyata tetap sepi. Akhirnya aku pun solat di masjid lain, di dekat kontrakanku. Heran, kenapa di masjid itu tidak didirikan solat jumat? Hanya mushalla-kah? Tapi milik siapa mushalla sebesar itu?

Penasaranku semakin menjadi. Masjid itu seperti mendung yang dari tadi siang menyelimuti sudut kota ini, penuh misteri. Tak ada setetes pun gerimis, apalagi hujan. Tidak ada pula guntur yang bergemuruh memecah keramaian deru kendaraan. Hanya mendung yang panjang. Banyak orang yang menafsirka bahwa sore ini akan hujan deras. Tapi hanya tafsiran kosong, tak ada bukti. Sampai sore ini pun belum turun gerimis, apalagi hujan deras seperti yang mereka tafsirkan. Ah, Tuhan memang sulit dimengerti, cukup untuk diyakini saja.

Sore ini, hari keenam kulangkahkan kaki ke masjid kesepian itu. Mendung terus bergelayut di atas ubunku. Ramai-ramai burung mengejar dan mendahului langkahku. Dua sekali lagi dua ekor kucing menatapku dari salah satu pagar rumah yang berderet di samping kanan jalan menuju gerbang masjid kesepian itu. Tampak kelebat orang di dalam beberapa rumah di samping kiriku. Mungkin mereka pemilik rumah ini, pikirku. Aku terus berjalan. Di depanku tampak masjid bercat putih teronggok kesepian.

Seperti biasa, setelah aku sampai ke masjid, aku langsung duduk di teras masjid, menatap langit yang kelabu sambil meratapi masjid besar yang kesepian ini. Tampak beberapa orang keluar dengan motor dari rumah-rumah yang tadi kulalui. Kelihatannya, umur mereka tak jauh beda denganku. Ah, anak muda jaman sekarang.., batinku.

Kali ini aku berencana untuk menanyakan orang-orang di sekitar masjid ini kepada bapak muadzin tua masjid ini, termasuk dia sendiri. Dari kemarin-kemarin, aku tak sempat bertanya, atau lebih tepatnya tak diberi kesempatan untuk bertanya. Dia seakan sibuk dan harus buru-buru pergi. Sepuluh menit lagi adzan magrib. Biasanya dia datang empat menit sebelum adzan.

Langit masih mendung. Tapi tak setetes pun gerimis yang jatuh ke tanah. Burung-burung juga masih bersliweran di bawah gumpalan mendung. Mungkin mereka memanggil-manggil hujan. Aku tak tahu nama-nama jenis burung-burung itu. Tampaknya mereka bahagia. Tak punya beban seperti manusia. Yang mereka tahu mungkin hanya makan, terbang mencari nafkah untuk keluarga mereka, tidur, dan bernyanyi. Tak ada dalam kamus hidup mereka tentang utang-piutang, politik, perceraian, sakit hati, demo, dan lain sebagainya. Tak seperti manusia. Kadang aku berpikir, lebih enak hidup jadi burung-burung itu. Sedih, bahagia, sulit, gampang, semua sama saja. Tapi aku bersyukur juga Tuhan telah menciptakanku sebagai manusia, karena aku dapat tahu dan mengenal Tuhan, yang telah menciptakanku, lebih dalam dibanding burung-burung itu. Karena aku manusia bisa tahu tingkah laku yang kuperoleh dari agama. Tak seperti burung-burung itu.

Muadzin tua itu datang. Kali ini menggunakan baju koko warna putih dengan motif ukiran bunga-bunga di bagian depannya dengan sarung kotak-kotak warna hijau tua. Kopiahnya tetap yang kemarin, hitam yang sudah layu. Dia segera menyalakan mesin pengeras, mengambil mikrofon, dan adzan. Lagu yang khas, tak punya aturan, tapi nikmat didengar. Mungkin hal itu karena dia adzan yang benar-benar dari hati, tidak hanya asal-asalan adzan.

Sebelum adzan selesai, aku bangkit dari dudukku menuju depan kamar mesin pengeras. Adzan selesai. Muadzin tua itu keluar dari dalam masjid. Dia tersenyum padaku. Aku pun membalas senyumnya. Lalu menuju kamar mesin pengeras dan keluar lagi.

“Maaf, pak, kira-kira siapa imam masjid ini ya?” tanyaku mencegat langkahnya yang hendak turun dari masjid.

“Kamu orang baru di sini, ya?” dia malah balik bertanya.

“Iya” jawabku singkat, tak lupa kusertakan senyum untuknya.

“Em.., ayo kita ngobrol sebentar. Kita duduk di sini,” ujarnya sambil menuju ke salah satu pilar penyanggah atap beranda masjid ini. Kami pun duduk.

“Em.., kamu tinggal di mana?” dia membuka kembali pembicaraan.

“Saya tinggal di dekat sini, pak. Ngontrak,” jawabku.

“Ow, kuliah?”

“Iya.., di UNSI,” jawabku tersenyum.

“Em, jadi kamu belum tahu cerita tentang orang-orang sekitar sini?” dia pun tergelak.

“Belum, pak. Wong saya baru satu minggu ngontrak di daerah sini. Sebelumnya saya ngontrak di dekat kampus,” terangku, tak lupa senyum. Aku memang terkenal orang yang murah senyum. Maaf, tak ada niat untuk pamer.

“Em.... Orang-orang di sekitar sini sudah tidak ada yang mau lagi dengan masjid. Mereka sudah disibukkan oleh pekerjaan masing-masing. Mereka banyak bernggapan bahwa masjid sudah tidak baku lagi untuk dijadikan tempat solat. Soalnya solat bisa dilakukan di mana saja, yang penting suci. Itu anggapan mereka,” terangnya, sambil sesekali menatap ke arah rumah-rumah berdiding kramik itu berada. Aku mulai paham. Inilah kota, pikirku. Muadzin tua itu melanjutkan lagi, “Bahkan, banyak dari penduduk asli sini yang sudah tidak lagi peduli dengan agama asal mereka, yaitu Islam. Dulu, di sini mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan, dulu, masjid ini tidak pernah sepi. Banyak orang berdatangan ke masjid ini untuk solat berjamaah, selametan, bahkan tak sedikit dari mereka yang hadir saat hataman al-Qur’an setiap setengah bulan sekali.” Dia menatapku. Kami bertatapan. Kulihat di matanya ada semangat untuk menumpahkan segala yang ada tentang masyarakat di daerah ini, tentang masjid kesepian ini.

“Em..,” erangku disertai anggukan berarti paham.

“Sekarang saya tidak mengerti mereka. Hati mereka suda jadi batu. Berkali-kali aku mencoba berbagai cara bagaimana mereka bisa kembali ke jalan yang benar, jalan Allah. Tapi semua sia-sia..,” lanjutnya sambil menatap langit yang mulai gelap, seakan meratapi nasib. Dia pun melanjutkan, “sudah terlalu sering aku mengundang ulama untuk memberi pecerahan kepada mereka. Tapi nyatanya, mereka hanya datang untuk memperoleh makan gratis. Artinya, ketika ceramah sedang disampaikan, yang hadir hanya lima sampai sepuluh orang saja. Tapi kalau ceramah sudah selesai, mereka berbondong-bondong datang menyerbu makanan..,” dia berdeham. Lalu melanjutkan kembali, “Bahkan pernah suatu ketika saya mendatangkan penceramah untuk memberi pencerahan. Dan mungkin mereka mendapat bocoran informasi bahwa tidak ada acara makan-makan. Eh, ternyata tak ada satu orang pun yang datang. Dan penceramah yang saya undang hanya senyum-senyum melihat keadaan. Ya, yang rugi saya. Tapi saya tidak pernah memperhitungkan itu semua. Saya ikhlas. Dan sejak itulah saya jera untuk mengadakan acara-acara seperti itu lagi. Tak ada gunanya..” dia sedikit menekankan kalimat terakhirnya.

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Bapak tua itu tersenyum menatapku. “Em, bagaimana kalau kita solat dulu sekaranga, pak?” tegurku.

“O ya, kita belum solat, ya? Aku lupa. Maklum sudah tua. Hehe,” jawabnya disertai tertatawa kecil. “Ayo, kita solat..” dia tersenyum, lalu bangkit dari duduknya. Aku pun bangkit mengikutinya ke dalam masjid. Kami solat berjamaah, hanya berdua, di masjid kesepian ini.

###


Solat selesai. Wididan dan doa, juga selesai. Aku menyempatkan solat sunah ba’diyah. Cukup lama aku tidak solat sunah. Muadzin tua itu keluar lebih dulu, lalu duduk di anak tangga paling ke empat masjid ini. Selesai solat, aku menyusulnya.

Tampak mulutnya komat-kamit merapal wiridan dengan sura sangat lirih, hampir tidak terdengar. Tatapannya menuju langit yang hitam, bintang atau pun bulan. Aku duduk di samping kanannya. Dia menoleh ke arahku, lalu tersenyum. Aku pun membalas senyumnya yang khas.

“O ya, pak, nama sampean siapa, ya?” tanyaku, membuka percakapan.

“Nama saya Tohir. Kamu, siapa namamu?” dia menatapku.

“Saya Mudi. O ya, pak, boleh saya bertanya suatu hal?” aku menatapnya.

“O ya, boleh, silakan.. Mau tanya apa?” dia tersenyum lagi menatapku.

“Bapak memang tidak solat di masjid ini ya, pak? Soalnya saya perhatikan bapak keluar dari masjid setelah adzan.”

“Em, iya. Baru sekarang ini saya solat di masjid ini, bersama kamu, setelah dua tahun berlalu.” senyuman khasnya menyertai tatapannya yang tertuju padaku.

“Ow... Boleh tahu kenapa, pak?”

“Ceritanya panjang, anak muda..” dia meratap, lalu kembali menatapku, “O ya, siapa namamu tadi?”

“Mudi,” jawabku singkat.

“Ya ya ya, Mudi. Akan aku ingat itu.” Dia tersenyum. Lalu memulai ceritanya, “Dulu, sebelum dua tahun yang lalu, saya memang aktif solat di masjid ini. Bahkan, sejak sepuluh tahun yang lalu saya termasuk takmir yang paling aktif adzan dan berjamaah di masjid ini. Tapi sejak  lima tahun lalu, sedikit demi sedikit semakin jarang orang yang mau berjamaah di masjid ini, dan terus berkurang sampai akhirnya, sekitar dua tahun lalu, tidak ada seorang pun yang datang untuk berjamaah ke masjid ini. Memang waktu itu marak terorisme yang mengatas-namakan agama kita (Islam) di negara ini. Bahkan waktu itu tersebar isu yang tak sedap bahwa banyak masjid yang dijadikan markas untuk merencanakan terorisme..” dia menatapku dalam.

“Ya ya ya, saya ingat itu, pak. Waktu itu saya di pesantren. Bahkan, banyak yang mengklaim pesantren menjadi sarang teroris. Saya tak terima itu, pak..” sambungku sembari mencoba mengingat-ingat kejadian dua tahun lalu ketika banyak polisi menggeledah pondokku. Ya, mereka yang termakan informasi yakin bahwa pondokku menjadi tempat perakitan bom yang digunakan teroris. Tapi hasilnya nihil, mereka tidak menemukan bukti-bukti.

“Em, jadi kamu pernah mondok, nak Mudi? Pantesan, dari penampilan kamu memang sudah terlihat jelas bahwa kamu seorang kiai.. hehe,” muadzin tua itu tertawa kecil.

“Ah, bapak ini ada-ada saja. Wong saya bukan dari aliran darah biru kok, pak. Bapak saya hanya nelayan, pak. Mana mungkin anak nelayan bisa jadi kiai? Hehe,” sanggahku.

“Lah, bisa saja, kan? Wong takdir itu yang tahu hanya Tuhan, hanya Allah. Bukankah betigu, nak Mudi?” tanya muadzin tua itu sambil tersenyum memandangku.

“Iya, sih pak. Tapi, itu kemungkinan yang terlalu jauh buat saya, pak. O ya, terus gimana lanjutan ceritanya, pak?” ujuarku mencoba meluruskan. Kami semakin akrab. Percakapan mengalir seakan kami telah lama kenal.

“Nah, sejak merebaknya isu terorisme itu, saya pun takut solat di masjid ini. Takutnya saya difitnah oleh orang-orang. Karena tinggal saya yang perhatian sama majid tua ini..” dia memperbaiki duduknya. Lalu melanjutkan kembali, “bahkan, sejak dua tahu lalu, warga sekitar sini tidak ada yang mau solat jumat di masjid ini. Entah mereka solat jumat di mana, saya tak tahu. Ya, dengan terpaksa saya juga tidak solat jumat di masjid ini. Saya solat jumat di masjid kampung tetangga. Cukup jauh, sih, dari rumah. Tapi, ya, mau bagaimana lagi..” dia mengangkat kedua bahunya disertai nafas yang lepas dari hidung mancungnya. Ah, kasihan muadzin tua ini. Pasti dia mempunyai beban jiwa, batinku. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Dan mencoba memasuki rasa yang dirasakan muadzin tua saat ini. Sungguh menyedihkan.

Muadzin tua ini melanjutkan kembali dengan nada yang lirih, “Masjid ini sudah tidak dipergunakan sebagaimana mestinya oleh mereka. Biasanya setelah adzan isya’, mereka datang kemasjid ini. Bukan untuk solat, tapi mereka malah menjadikan masjid ini sebagai tempat nongkrong kedua setelah mereka datang dari alun-alun kota. Sebenarnya, saya sangat tidak terima atas perlakuan mereka terhadap masjid ini. Tapi, saya juga tidak bisa menegur mereka karena tanah yang dibanguni masjid ini adalah tanah buyut-buyut mereka. Juga kerena saya sudah tua..” terangnya. Aku merasakan kepedihan itu. Aku juga tidak terima, pak, batinku. “Makanya, saya selalu buru-buru pulang setelah adzan. Saya tidak mau sakit hati ini semakin sakit melihat mereka..” sambungnya dengan nada yang ditekan.

Benar-benar sulit. Inikah jaman modern?, pikirku. Kuraih hp di dalam saku. Kulihat jam, 19.46. Sebentar lagi isya’, batinku. “Sekarang waktu isya’ jam berapa, pak?” tanyaku mencoba mengingatkannya.

“Jam 19.47. Sekarang jam berapa?”

“19.46,” jawabku singkat. Dia segera beranjak dari duduknya menuju kamar mesin pengeras. Tak lama, suara muadzin tua itu terdengar khas dari Toa, memecah malam yang kelam. Suaranya seakan menumpahkan duka. Sesekali aku mengingat-ingat lagu apa yang dia lantunkan sambil menatap mendung yang terlihat samar di antara langit yang hitam kelam.

Adzan selesai. Tak lama berselang setelah adzan Pak Tohir, alias muadzin tua itu keluar menuju kamar mesin pengeras. Aku masih tak mengubah posisi dudukku, menatap langit sambil mencoba memaknai setiap gurat garis-garis mendung yang samar. Aku menemukan kehidupanku yang lain di sana, semua masa laluku. Ada ayah yang baru datang dari laut setelah dua malam lamanya tak tidur di rumah. Tampak juga kakak-kakakku yang bergantian menemani ibu saat ayah ke laut. Yang sangat jelas saat ini adalah sebuah kamar terbuat dari kayu berdidinding triplek yang dicat warna hijau dan putih, luasnya kira-kira 4 meter persegi. Itulah kamarku waktu di pondok. Tampak orang-orang bersenjata laras panjang hilir-mudik di depan kamarku. Aku hanya dapat mengintip mereka dari celah didinding yang bolong. Tiba-tiba saja tiga orang di antara mereka menggedor pintu kamarku yang sengaja kukunci. Pintu triplekku retak oleh senjata mereka. Terpaksa kubuka pintu biar tak semakin rusak parah. “Ayo, sekarang kamu keluar! Kami akan menggeledah kamarmu..” ucap salah seorang mereka. Tangan kekarnya memegang pundakku, lebih tepatnya sedikit menarik pundakku. Sejenak kutatap matanya yang sipit dengan kerutan di dahinya, “tak mungkin ada apa-apanya di kamar saya, pak..” ucapku lirih. “Kami tetap akan memeriksa kamar Anda ini.. tunggu diluar saja! Ayo, sekarang juga!” bentak orang yang memegang pundakku itu. Aku pun didorongnya ke luar dari kamar. Aku hanya bisa berdiri pasrah menyaksikan tubuh-tubuh kekar bersenjata itu mengobrak-abrik isi lemariku, bahkan memindah posisi lemariku. Buku, kitab, baju, semua berhambur keluar dari tempat masing-masing. Sebenarnya aku geram kepada mereka. Cara mereka menggeledah tidak sopan. Kulihat kamar-kamar teman di sekitar blok-ku, mereka sibuk merapikan kamar mereka yang berantakan akibat penggeledahan yang salah jalur ini.

“Hei, sedang ngelamunin apa? Cewek, ya? Hehe,” Pak Tohir membuyarkan lamunanku. Aku menoleh kepadanya.

“Hehe, cewek dari mana, pak? Hari gini mana ada yang mau sama cowok miskin kayak saya ini. Sulit, pak..” jawabku disertai senyum. Muadzin tua itu duduk kembali di samping kananku.

“Yah, begitulah jaman sekarang. Semua serba memperhitungkan materi. Aah..,” ucapnya lirih, disertai desah.

“Hhem,” desahku. “O ya, keuarga bapak berapa?”

“Empat orang; saya, istri saya, dan dua anak saya.”

“Em, masih lengkap kan, pak?” tanyaku mencoba mengetahui lebih lengkap.

“Hem, istri saya sudah meninggal satu tahun lalu. Dua anak saya sudah berkeluarga. Ya, sering mereka menjengukku ke rumah..” jawabnya datar.

“Oo, jadi bapak tinggal sendiri di rumah?”

“Iya,” jawabnya singkat. “O ya, solat isya’, yuk. Sebentar lagi banyak orang datang ke masjid ini. Saya males bertemu mereka. Muak!” sambungnya kemudia. Lalu dia beranjak dari duduknya. Tanpa menjawab aku pun mengikutinya. Kami solat isya berdua, berjamaah.

Setelah selesai, muadzin tua itu segera beranjak dari duduk iftirasy-nya. Lalu setengah berbisik dia berkata, “Maaf, nak Mudi, saya harus segera pulang. Mereka sudah datang. Maaf, ya.” Aku hanya mengangguk. Dia pun berlalu keluar masjid setelah mematikan lampu di bagian ruang utama masjid. Aku melihat keluar. Tampak empat orang sudah berada di beranda masjid. Aku pun segera menyudahi wiridanku, lalu beranjak keluar dan turun dari masjid. Aku takut terjadi sesuatu yang tak kuinginkan. Tampaknya mereka memperhatikanku. Sesekali kuperhatikan mereka diam-diam. Dua orang di antara mereka memakai sarung dan kaos oblong. Dua orang lainnya memakai celana pendek dan kaos, sambil sibuk dengan hp mereka. Semua orang itu merokok. Tampak mereka sedang memegang kartu domino.

“Permisi, mas..” ucapku ketika lewat di dekat mereka sambil kuanggukkan kepala dan tersenyum, mencoba ramah.

“Iya..” hampir bersamaan jawaban itu keluar dari mulut mereka.

Aku pun berlalu perlahan. Lamat-lamat kudengar bisikan mereka, “eh, siapa sih tuh orang?” tanya salah satu di antara mereka. Aku tak tahu yang mana yang bertanya. Aku tak mau menoleh. “Gak tau juga, tumben ada anak muda kayak dia yang rajin solat ke masjid..” bisik yang lain. Aku hanya terus berjalan. “Atau jangan-jangan dia hanya sok alim hanya untuk merebut tante Dila dari kita..” sura yang lain, lalu mereka tertawa kecil. Aku hanya terus berlalu. Tak kudengar lagi bisikan mereka. Kupercepat langkah menuju kontrakan. Kali ini tak ada dua ekor kucing yang kerap menyapaku dari beranda salah satu rumah yang berderet di jalan dekat masjid kesepian itu. Ah, ada apa denganku malam ini? Ingin segera kuhempaskan tubuh ini ke tempat tidur. Aku benar-benar merasakan lelah yang benar-benar lelah.

###


Aku benar-benar tak habis pikir tentang apa yang diceritakan muadzin tua itu lima tahun yang lalu. Ternyata zaman memang benar-benar sudah akhir. Aku jadi ingat pada hadits yang menjelaskan bahwa salah satu tanda kiamat adalah akan banyak orang yang berdatangan ke masjid, tapi bukan untuk beribadah atau berdzikir kepada Allah, melainkan mereka hanya akan membicarakan urusan yang bersifat duniawi. Atau bahkan yang lebih parah lagi, masjid dijadikan tempat untuk berbebisnis.

Kali ini aku berada di daerah yang berbeda. Tapi keadaan tak jau beda dengan yang kualami lima tahun lalu di masjid kesepian itu. Di sini pun, di belahan lain kota ini, masjid hanya dijadikan pelarian bapak-bapak berkepala tiga dari tanggung jawab mereka. Istri-istri mereka disuruh bekerja, dan mereka pun asyik-asyikan nongkrong di masjid. Bahkan, tak jarang, ketika kuperhatikan diam-diam, mereka berjudi di masjid. Masyaallah. Apa yang ada dalam hati mereka?

  • Ahad, 8 Februari 2015 09:06 WIB Mencium Tangan Guru Dianjurkan

    DISKRIPSI MASALAH Salah satu tradisi warga NU ketika bertemu warga NU lainnya mereka berjabat tangan (asalaman). Bahkan tidak hanya sekedar itu, akan tetapi ada pula yang sampai mencium tangan dengan alasan takdzim, apabila yang mereka jumpai adalah orang alim atau gurunya.   PERTANYAAN Bagaimana

  • Ahad, 8 Februari 2015 08:45 WIB Sosialisasi Korporatisasi Garam Rakyat

    Sosialisasi korporatisasi garam rakyat makin gencar dilakukan PBNU. Seperti yang dilakukan hari Sabtu (7-2-2015) di kantor MWC NU Pragaan, Tim sosialisasi bersama Ketua PCNU Sumenep jumpai petani garam rakyat yang ada di MWC NU Pragaan. Dalam arahannya Ketua Tim Rokib Ismail mengatakan bahwa pemerintah akan

  • Ahad, 1 Februari 2015 22:49 WIB NU Pragaan Mulai Gencarkan Info KARTANU

    Jaddung menjadi ranting NU pertama yang didatangi Tim Kartanu MWC NU Pragaan. Setelah pagi harinya membentuk TIM, sore harinya Ahad (1-2-2015) di kediaman KH. Asnawi Sulaiman PP Al-Ihsan Jaddung TIM Kartanu sosialisasikan Kartanu kepada pengurus dan warga yang ikut perkumpulan ranting. Rais Syuriyah KH. Moh.

  • Sabtu, 31 Januari 2015 22:47 WIB PWNU Ajak PCNU Genjot Kartanu Jilid II

    Meskipun sepanjang pagi diguyur hujan, tak menyurutkan PWNU merapat dengan PCNU dan MWC NU se Kabupaten Sumenep, sabtu (31-01-2015). PWNU sebutkan perolehan Kartanu Sumenep baru 17.000. Jumlah ini masih terbilang sedikit bila dibandingkan dengan PCNU lain. Padahal Sumenep potensi kewargaannya kuat. KH.

  • Rabu, 28 Januari 2015 04:06 WIB LPNU Study Pengelolaan Penggemukan Sapi

    Takut keliru dalam memulai usaha penggemukan ternak, pengurus LPNU adakan study awal pendirian kandang komunal, dan pemeliharaan sapi, pada hari Rabu, 28 Januari 2015. Lokasi study  yang dipilih adalah Kelompok Tani di Pamekasan Madura. Kelompok tani ini telah punya banyak pengalaman mengikuti pendidikan

  • Jumat, 23 Januari 2015 04:10 WIB LPNU Pertajam Program Penggemukan Sapi

    Sehari setelah dilantik, Lembaga Perekonomian NU Pragaan langsung tancap gas gelar rapat lanjutan di Kantor MWC NU Pragaan, Jum’at, 23 Januari 2015 M. Rapat yang dimulai pada jam 15.00 Wib ini mempertajam program unggulan LPNU yaitu penggemukan ternak sapi dengan kandang komunal. Penggemukan sapi dengan

  • Kamis, 22 Januari 2015 15:00 WIB NU Aeng Panas Bangkit Adakan Haul Akbar

    Seolah ingin menepis anggapan ranting NU yang mati, pengurus baru Ranting NU Aeng Panas bangkit mengadakan kegiatan rutin bulanan berupa pengajian kitab dan konsolidasi, bergiliran dari rumah pengurus ke rumah pengurus lainnya. Bulan maulid tahun inipun dengan bangga mengadakan Haul Akbar dan Peringatan Maulid

  • Jumat, 3 Januari 2014 01:00 WIB Sesal Kelabu

    Oleh Diyah Ayu Fitriana*) Nasi telah menjadi bubur, begitu kata pepatah. Dan ini yang aku rasakan sekarang. Aku masih tetap berada di dalam lingkar perih yang mengurungku dengan rasa bersalah. Bertahun-tahun aku dibelenggu rasa yang aku sendiri tak kuat menahannya. Ma, makan dulu yach... Aku menyuguhkan

  • Kamis, 2 Januari 2014 11:12 WIB Titah Sang Ibu

    Oleh Nur Jamila Baisuni Santriwati Latee II PP Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Bersama deru ombak yang bising kutitip mimpi dan harapanku pada Tuhan yang menciptanya. Kuharap janji Tuhan atas doa-doa yang kupanjatkan di setiap detak jantungku. Kuyakin Tuhan tak pernah salah. Tuhan tak pernah bohong. Akulah

  • Rabu, 1 Januari 2014 04:13 WIB Masjid Kesepian

    Oleh: AF. Raziqi Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) di Sumenep   Senja yang buram. Aku duduk terpaku menatap langit kelabu. Awan tebal membuntuti burung-burung yang berkejaran seakan berlomba mencapai sarang. Sebentar lagi hujan, pikirku. Aku duduk di teras masjid. Kuperhatikan lekuk langit yang

  • Rabu, 1 Januari 2014 02:08 WIB Suatu Malam di Sudut Mushalla

    Ayu Afandi* Dari balik jemuran ini, kuperhatikan gadis itu. Sosok yang begitu manis dan santun. Wajahnya selalu berseri. Mulutnya yang komat-kamit seolah tak ada keluh terpendam. Keriangan yang terpancar di matanya begitu bertolak belakang dari sisi buruk yang selama ini disematkan padanya. Si Ratu Denda.

  • Selasa, 24 Desember 2013 09:43 WIB Bus Pertiwi

    Oleh Ali Fahmi   Knalpot menderu mengentutkan asap-asap pekat, menyesakkan jantung. Ban bundar berotasi mengikuti kilometer pedal gas. Poros penghubung yang karatan berbunyi menakutkan. Bus yang sudah tua dan usang dihantam cuaca dan masa itu terus meliuk di tikungan-tikungan terjal. Jalan beraspal

  • Senin, 23 Desember 2013 20:20 WIB Di Balik Jeruji

    Oleh Mahmudah Imam   Kupanggil dia Cinta; anugerah terindah yang selalu mengikat perasaanku. Di setiap tatapannya, ada rona cemburu yang tak kutahu untuk siapa. Ada resah dalam kalimat-kalimat bisu yang disuarakan. Ada amarah, juga benci, yang belum kupahami karena apa. Setelah itu, selalu ada

Memuat Data...

Siapkan Identitas
Khusus Warga Kecamatan Pragaan