Jangan Andalkan Amal
esoftHMD363x Buletin-khidmah Turats
Oleh: K.H. Zuhri Abd. Mughni
“Sebagian dari tanda-tanda mengandalkan amal (puasa, shalat, dzikir, dll) ialah kurangnya harapan (akan rahmat Allah) ketika tergelincir melakukan kesalahan,” Ibn ‘Athaillah.
Tidak sedikit orang Islam yang memiliki pengharapan tinggi akan rahmat Allah ketika mengerjakan ibadah yang banyak, sementara manakala tergelincir pada perbuatan maksiat, pengharapan (raj?’) itu jadi berkurang. Mereka jadi merasa tidak mungkin mendapat rahmat Allah sebab telah banyak berbuat dosa. Ini suatu pertanda bahwa mereka mengandalkan amal.
Raj?’ jangan sampai berkurang, bahkan harus selalu ditingkatkan. Tentu, jangan sampai kebablasan sehingga tidak melakukan amal. Meskipun pada suatu waktu kita terlanjur bermaksiat, raj?’ kita jangan sampai surut. Sebab, ini berarti kita termasuk orang yang mengandalkan amal. Sebaliknya, bila kita melakukan ibadah yang banyak, lalu hati kita berbisik, ”Semoga Allah memberikan pahala yang banyak, mengabulkan hajat kita, dan memberikan rizki yang melimpah.” Sementara, ketika kita tergelincir pada perbuatan dosa, ibadah kita berkurang, harapan itu lantas menyusut.
Di sinilah pentingnya kita belajar tauhid dan memperkuat iman. Jangan kita kait-kaitkan amal dengan rahmat Allah. Amal jaw?rih (fisik-lahir) semata terkait dengan perintah dan larangan Allah.
Hati jangan sampai berubah. Inilah sebenarnya intisari dari makna L? il?ha illall?h sebagai dasar hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Tetapi, jangan sampai berhenti hanya sampai di sini. Harus dilanjutkan pada Muhammadur-Ras?lull?h sebagai dasar dari segala amal. Jadi, amal jaw?rih itudasarnya Muhammadur-Rasulluh, sebab beliaulah yang mencontohkan amalul jaw?rih tersebut.
Al-‘All?mah al-Syaikh Ibrahim yang dikenal dengan dengan sebutan ibnu ‘Ubbad mengatakan, ”I’tim?d ‘alall?h (mengandalkan Allah) adalah sifat orang-orang ‘arif (orang-orang yang mengenal Allah, makrifat) dan bertauhid kepada Allah. Sementara, i‘tim?d pada selain Allah, entah pada ilmu entah pada amal, adalah sifat orang-orang bodoh yang lupa kepada Allah, Dzat Yang Maha Pencipta.”
Lalu apa saja tanda orang-orang yang sudah sampai pada maq?m (tingkatan, derajat) makrifat kepada Allah itu? Tanda-tandanya ialah adanya perasaan fana’ (sirna, lenyap). Mereka merasa tidak ada. Hal-hal yang bersifat duniawi jauh dari benaknya dan tak lagi menjadi perhatiannya. Dirinya jauh tenggelam di lautan mahabbah (kecintaan) kepada Allah. Ketika mereka (al-‘ ?rif?n) tergelincir dalam suatu kesalahan atau terlelap dalam ghaflah (lupa kepada Allah), seperti meninggalkan wirid-wirid, mereka meyakini bahwa itu semua adalah perbuatan Allah serta perwujudan takdir-Nya. Demikian juga ketika mereka mengerjakan perbuatan taat, atau memiliki kemampuan musy?hadah qalbiyah (penyaksian hati), mereka tidak meyakini bahwa itu berasal dari daya dan kemampuannya sendiri. Bagi mereka tidak ada perbedaan antara tergelincir dalam kesalahan, ghaflah, dan berbuat kebaikan. Karena, mereka tenggelam dalam lautan tauhid (peng-esa-an kepada Allah). Khawf (perasaan cemas, takut) dan raj?’-nya seimbang. Karena itu, ketergelinciran mereka dalam perbuatan maksiat tidak menyebabkan khawf-nya berkurang. Demikian juga perbuatan baiknya tidak menjadikan raj?’-nya bertambah. Maka barang siapa di dalam dirinya belum ada tanda-tanda seprti ini, hendaklah ia bermujahadah (berjuang keras) dengan melakukan bermacam-macam riy?dhah dan dzikir, sehingga ia sampai pada maq?m makrifat. Semoga kita dan anak cucu tergolong orang-orang yang makrifat kepada Allah.
Â
Ada dua golongan yang rentan mengandalkan amal jaw?rih. Pertama, al-‘ubb?d (para ahli ibadah). Mereka mengandalkan shalat, puasa, dzikir, dan ibadah-ibadah lainnya demi mencapai surga dan menikmati kenikmatan-kenikmatan di dalamnya, serta demi menyelamatkan diri dari siksa neraka. Kedua, almur?d?n, yakni orang-orang yang melakukan perjalanan menuju Allah. Mereka mengandalkan amal ibadah demi menggapai cita-cita wush?l, yakni makrifat kepada Allah, terbukanya tabir penutup hati, serta tercapainya muk?syafah dan terungkapnya rahasia-rahasia Allah.
Dua golongan ini dicela (madzm?m), karena mereka menilai diri mereka sendiri dan mengandalkan amal (Al-‘All?mah al-Syaikh Abdullah asy-Syarqawi, dalam hamisy Hikam, hal. 3).
Sedangkan al-‘?rif?n, yakni orang-orang yang kenal kepada Allah, tidak pernah menilai diri dan apa yang mereka lakukan. Bahkan, tak pernah menilai seluruh jiwa dan raga mereka. Yang mereka saksikan dan mereka yakini adalah bahwa al-F?‘il al-Haq?q? (sang pelaku sejati) dari segalanya ialah Allah. Yang membuat mereka meraih surga serta wush?l kepada Allah bukanlah amal mereka, tapi murni anugerah, kehendak, dan kemahakuasaan Allah.
Semestinya, kita memang demikian. Yakni, mengharap rahmat, fadhl, taufiq dan hidayah Allah, dan tidak mengandalkan diri, amal, ilmu, kemampuan, kekuatan, dan segala yang ada pada kita. Allah berfirman, “Seandainya Tuhanmu berkehendak, niscaya mereka tidak berbuat.”
Rasulullah bersabda, “Salah seorang di antara kalaian tidak akan masuk surga dengan amalnya.”
Sahabat bertanya, ”Apakah engkau juga juga demikian, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, ”Ya, aku juga, kecua;i cuali jika Allah meng-anugerahkan dan meliputi aku dengan rahmatnya.”
A-Allamah asy-Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mengatakan,“Pada hakikatnya, maksud dan tujuan Imam Ahmad ibn ‘Atha’illah as-Sakandari dalam kalam hikmahnya, seperti yang saya kutip di awal tulisan ini, adalah memberikan motivasi dan semangat kepada para s?lik dan menghindarkan mereka agar tidak berpegang dan mengandalkan hal-hal selain Allah. Namun, bukan berarti lantas tidak melakukan amal sama sekali. Sebab, amal seperti shalat, puasa, dzikir, dan semacamnya merupakan sebab dan sarana yang lumrah untuk wush?l atau makrifat kepada Allah.
Adapun yang paling baik dan utama bagi kita adalah beribadah semata-mata karena mencari ridha Allah dan dalam rangka mensyukuri nikmat-Nya, sebagaimana disabdakan Nabi kepada Sayyidah Aisyah, “Apakah aku tidak akan menjadi hamba yang pandai bersyukur?”
Rujukan: Syaikh Ahmad bin ‘Ajibah, ?q?zh al-Himam f? Syarh al-Hikam.