Media Dakwah

BUMIAswaja

Media Dakwah MWCNU Pragaan

Mengintip Geliat Sastra Kampung

Selasa, 24 Desember 2013 09:42 WIB
138x Buletin-khidmah Esai

Oleh Sahli Hamid*)

 

Perdana Menteri Singapura mewajibkan rakyatnya membaca karya sastra. Kuntowojoyo mengatakan kalau masyarakat Indonesia ingin baik, mereka maka harus membaca karya sastra.

 

Menarik sekali membincang sastra kampung, atau yang biasa disebut sastra pedalaman. Sastra yang sering terabaikan dan lepas dari pandangan, karena dominasi sastra perkotaan yang memiliki fasilitas dan penikmat lebih kaya dan lebih menjanjikan. Tak heran, jika banyak sastrawan angkat kaki dari kampung, hijrah ke kota untuk mengembangkan karier dan mengasah bakat.

Sebenarnya, sastra kampung bukan tak memiliki peluang untuk berkembang, dan tak kalah kualitas dibanding sastra kota. Proses kreatifnya pun cenderung lebih orisinal, ‘perawan’, dan steril dari denyut kepentingan. Begitu pun, dari segi isi,  sastra pedalaman terasa lebih dalam dan lebih khidmat dengan nuansa religius yang begitu kental. Lebih-lebih sastra yang lahir dari tangan-tangan kreatif para kiai dan santri di bumi pesantren.

Bila diamati, perkembangan sastra mutakhir—khususnya di kabupaten Sumenep—berkait kelindan secara intensif dengan hiruk-pikuk sastra pesantren yang notabene mewakili sastra kampung atau sastra pedalaman. Bahkan, bisa dibilang sastra yang sarat nilai pencerahan ini menjadi tolok ukur perkembangan sastra tingkat Jawa Timur, atau bahkan tingkat nasional.  Pada konteks ini, kita melihat Sumenep ternyata bukan hanya ladang tembakau dan tambak garam, tetapi juga rahim yang produktif melahirkan para sastrawan. Lihat saja Kuswaidi Syafi’i, Jamal D Rahman, Ibnu Hajar, M. faizi, Syaf Anton Wr, dan yang lain, selain sastrawan senior  sekelas D. Zawawi Imron dan Abd Hadi WM.

Memang, diakui perkembangan sastra di Sumenep pada dasawarsa terakhir ini geliatnya kurang menyentak. Tidak seperti pada dekade 90-an sampai awal 2000-an yang pertumbuhannya cukup pesat dan gaungnya terdengar hampir ke seluruh penjuru kota dan desa. Mungkin, ini karena imbas euforia politik, baik  level lokal maupun nasional. Seniman dan sastrawan rupanya ikut tergoda untuk turun ke lapangan perpolitikan Indonesia, bukan berkarya untuk memberikan oase moral. Mungkin benar sinyalemen bahwa sastrawan kemudian lebih merapat ke dunia proyek daripada mengasah daya kreatif mereka dan mematangkan kontemplasi serta perenungan mereka. Konsekuensinya, karya mereka tak beranjak secara mutu, mandeg dan stagnan.

Itu gambaran secara umum. Secara spesifik, kita melihat pemandangan yang sedikit berbeda dan menumbuhkan rasa optimis. Pesantren ternyata masih cukup  subur melahirkan karya-karya bermutu di tengah gairah sastra yang lesu dan mati suri. Lumbung yang masih menyerbakkan aroma sastra itu, untuk menyebut sebagian kecil, adalah Pesantren Annuqayah Guluk-guluk, Pesantren Al-Amin Prenduan, dan pesantren-pesantren lain yang lebih kecil. Di situ kita masih dapat dengan mudah menjumpai komunitas sastra dengan kadar talenta yang kuat dan karya yang layak diperhitungkan secara kualitas.

Ini tidak berarti saya menafikan eksistensi dan kualitas para sastrawan yang hidup di perkotaan dan tidak memiliki latar belakang pendidikan pesantren. Mereka, pada derajat tertentu, cukup kreatif dan kaya nilai religius dan transendental. Sebut saja untuk kelompok ini nama semisal Syaf Anton WR, Hidayat Raharja, Mahendra, dan yang lain. Mungkin benar apa yang dikatakan  Putu Fajar Arcana bahwa benturan tradisional-modern justru membuat orang membutuhkan bentuk-bentuk konfigurasi simbolis untuk menunjukkan bahwa kekotaan tidak berarti menghilangkan religiusitas dalam diri mereka (Putu Fajar Arcana, Kompas 27/12/2009).

Satu hal yang masih menjadi kendala laten bagi sastra kita adalah fakta bahwa sastra kita baru hanya dinikmati oleh segelintir orang, belum mendapat apresiasi sepadan dari masyarakat. Ada beberapa kemungkinan sebagai penyebab. Pertama, tingkat pemahaman masyarakat terhadap dunia sastra masih rendah, karena terkendala bahasa. Kedua, perilaku sastrawan yang sering menunjukkan keanehan dan sikap nyelenih. Ketiga, sastrawan kurang merakyat dan berbaur langsung dengan masyarakat untuk merekam aspirasi, keinginan, dan harapan mereka.

Fenomena sastra kampung memang perlu melewati berbagai batu ujian untuk menunjukkan taringnya dan berkiprah dalam dialektika kesusateraan modern. Tidak bisa dipungkiri bahwa modal finansial dan kemampuan mengeksplorasi imaji serta ketersediaan media yang dapat mengakomodir kreativitas sastra merupakan salah satu bagian penting untuk kemajuan dunia sastra. Barangkali kehadiran Khidmah ini menjadi angin segar bagi komunitas sastra kampung kita. Paling tidak, di tengah media yang lebih mengedapankan komoditas non-sastra ini Khidmah berbagi ruang untuk menampung barang sedikit dari karya-karya mereka.

Selanjutnya, mari kita gairahkan kebangkitan sastra kampung ini lewat temu sastra yang akan digelar pada tanggal 22 Pebruari 2013 di Gedung Ki Hajar Dewantara Sumenep dengan tajuk “Ulang Tahun Sastra Pesantren”. Mudah-mudahan geliat sastra, khususnya di Kabupaten Sumenep, kembali bergairah dan menjadi salah satu pilar kekuatan sastra di tanah air. Wallahu a’lam.

 

*) Khadam PP Raudlatul Iman, Gadu Barat, Ganding, Sumenep.

  • Ahad, 8 Februari 2015 09:06 WIB Mencium Tangan Guru Dianjurkan

    DISKRIPSI MASALAH Salah satu tradisi warga NU ketika bertemu warga NU lainnya mereka berjabat tangan (asalaman). Bahkan tidak hanya sekedar itu, akan tetapi ada pula yang sampai mencium tangan dengan alasan takdzim, apabila yang mereka jumpai adalah orang alim atau gurunya.   PERTANYAAN Bagaimana

  • Ahad, 8 Februari 2015 08:45 WIB Sosialisasi Korporatisasi Garam Rakyat

    Sosialisasi korporatisasi garam rakyat makin gencar dilakukan PBNU. Seperti yang dilakukan hari Sabtu (7-2-2015) di kantor MWC NU Pragaan, Tim sosialisasi bersama Ketua PCNU Sumenep jumpai petani garam rakyat yang ada di MWC NU Pragaan. Dalam arahannya Ketua Tim Rokib Ismail mengatakan bahwa pemerintah akan

  • Ahad, 1 Februari 2015 22:49 WIB NU Pragaan Mulai Gencarkan Info KARTANU

    Jaddung menjadi ranting NU pertama yang didatangi Tim Kartanu MWC NU Pragaan. Setelah pagi harinya membentuk TIM, sore harinya Ahad (1-2-2015) di kediaman KH. Asnawi Sulaiman PP Al-Ihsan Jaddung TIM Kartanu sosialisasikan Kartanu kepada pengurus dan warga yang ikut perkumpulan ranting. Rais Syuriyah KH. Moh.

  • Sabtu, 31 Januari 2015 22:47 WIB PWNU Ajak PCNU Genjot Kartanu Jilid II

    Meskipun sepanjang pagi diguyur hujan, tak menyurutkan PWNU merapat dengan PCNU dan MWC NU se Kabupaten Sumenep, sabtu (31-01-2015). PWNU sebutkan perolehan Kartanu Sumenep baru 17.000. Jumlah ini masih terbilang sedikit bila dibandingkan dengan PCNU lain. Padahal Sumenep potensi kewargaannya kuat. KH.

  • Rabu, 28 Januari 2015 04:06 WIB LPNU Study Pengelolaan Penggemukan Sapi

    Takut keliru dalam memulai usaha penggemukan ternak, pengurus LPNU adakan study awal pendirian kandang komunal, dan pemeliharaan sapi, pada hari Rabu, 28 Januari 2015. Lokasi study  yang dipilih adalah Kelompok Tani di Pamekasan Madura. Kelompok tani ini telah punya banyak pengalaman mengikuti pendidikan

  • Jumat, 23 Januari 2015 04:10 WIB LPNU Pertajam Program Penggemukan Sapi

    Sehari setelah dilantik, Lembaga Perekonomian NU Pragaan langsung tancap gas gelar rapat lanjutan di Kantor MWC NU Pragaan, Jum’at, 23 Januari 2015 M. Rapat yang dimulai pada jam 15.00 Wib ini mempertajam program unggulan LPNU yaitu penggemukan ternak sapi dengan kandang komunal. Penggemukan sapi dengan

  • Kamis, 22 Januari 2015 15:00 WIB NU Aeng Panas Bangkit Adakan Haul Akbar

    Seolah ingin menepis anggapan ranting NU yang mati, pengurus baru Ranting NU Aeng Panas bangkit mengadakan kegiatan rutin bulanan berupa pengajian kitab dan konsolidasi, bergiliran dari rumah pengurus ke rumah pengurus lainnya. Bulan maulid tahun inipun dengan bangga mengadakan Haul Akbar dan Peringatan Maulid

  • Jumat, 3 Januari 2014 00:38 WIB Sastra Tasawuf

    Oleh Asyari Khatib*)   Ada sebuah realitas menarik terkait pembicaraan tentang satrakhususnya puisidalam hubungannya dengan tasawuf. Rentang sejarah tasawuf banyak sekali dihiasi kreativitas sastra, berbentuk puisi. Demikian pula perjalanan sejarah puisi, diperkaya dengan entitas puisi yang penuh

  • Kamis, 2 Januari 2014 11:08 WIB Teologi Kultural

    Pak Kuntowijoyo pernah mengklaim Muhammadiyah telah berdosa besar terhadap dunia kebudayaan Indonesia. Pasalnya, Muhammadiyah telah menggusuratau paling tidak, bersikap antipati terhadaptradisi-tradisi lokal atau ritus-ritus keagamaan yang dipandang bersentuhan dengan konsep kuffarat, khurafat, dan tahayul.

  • Rabu, 1 Januari 2014 04:10 WIB Lubang Kesabaran

    Oleh: K.A. Dardiri Zubairi Sekretaris PC NU Sumenep   Suatu hari ketika naik motor bersama istri dan anak, saya sempat kesal dan mengeluh ketiba tiba di jalan berlubang dan rusak. Kiran-kira 200 meteran, jalan berkubang mulai sejak sisi kiri, kadang di tengah, kadang di sisi kanan. Akibat jalan rusak

  • Selasa, 24 Desember 2013 09:42 WIB Mengintip Geliat Sastra Kampung

    Oleh Sahli Hamid*)   Perdana Menteri Singapura mewajibkan rakyatnya membaca karya sastra. Kuntowojoyo mengatakan kalau masyarakat Indonesia ingin baik, mereka maka harus membaca karya sastra.   Menarik sekali membincang sastra kampung, atau yang biasa disebut sastra pedalaman. Sastra yang

Memuat Data...

Siapkan Identitas
Khusus Warga Kecamatan Pragaan