Bus Pertiwi
Asr219x Buletin-khidmah Cerpen
Oleh Ali Fahmi
Â
Knalpot menderu mengentutkan asap-asap pekat, menyesakkan jantung. Ban bundar berotasi mengikuti kilometer pedal gas. Poros penghubung yang karatan berbunyi menakutkan. Bus yang sudah tua dan usang dihantam cuaca dan masa itu terus meliuk di tikungan-tikungan terjal. Jalan beraspal penuh rintang dengan lubang dan tambalan yang tak selesai-selesai diperbaiki. Kapan jalan bisa mulus dilalui bus tua semacam Pertiwi, tak ada yang tahu.
Sopir berusaha menguasai laju bus. Air muka begitu serius. Kondektur berseragam siap menandai karcis dengan penanya yang tajam. Diaturnya para penumpang yang penuh sesak. Seseorang yang mengenakan jas yang sejak tadi berdiri bersama istrinya mendekati kondektur.
"Pak Kondek, saya mau turun di sana. Berapa ongkosnya?"
"Dua ribu saja untuk langganan."
Kondektur mencarik karcis sambil tersenyum tipis. Bapak berjas itu mengeluarkan uang seratus ribuan.
"Carikan pula tempat duduk yang bagus untuk saya dan istri saya."
"Bapak, kan dekat? Sebentar lagi turun."
"Tapi saya lelah berdiri."
"Oke, bisa saya atur."
Kondektur memaksa pak tua yang memangku seekor ayam dan seorang petani yang sejak tadi tidur di kursi depan untuk meninggalkan kursi dan berdiri menggantikan posisi bapak berjas itu.
"Ini tidak adil. Saya yang lebih dulu menempati kursi itu," sanggah pemilik ayam.
"Ini pilih kasih!" protes petani.
"Apanya yang tidak adil? Apanya yang pilih kasih?! Bapak bawa ayam, tahinya bisa mengotori kursi. Bapak ini bawa cangkul, nanti kursi bus bisa rusak. Cepat berdiri, atau aku keluarkan dari bus ini," bentak kondiktor.
Dengan amat terpaksa mereka berdiri. Bapak berjas itu dengan acuh duduk di kursi tadi bersama istrinya.
"Kebodohan macam apa lagi ini?!" gerutu pemilik ayam
"Mentang-mentang karena kita sangat butuh tumpangan," tambah petani
"Hey, Pak Sopir kapan sampainya kalau jalan bus seperti ini?" teriak seorang bapak tinggi besar berwajah hitam dari belakang
"Saya mau diturunkan di mana, Pak Sopir? Rumahku sudah lewat, nich!" teriak seorang berwajah Cina tak kalah lantang.
Tiba-tiba di dalam bus terjadi kegaduhan. Beberapa barang terlempar keluar. Tangis dan tawa berbaur membahana. Dan, tawuran antar penumpang pun tak terelakkan. Mereka saling berebut kursi.
"Diaaaaam! Lihat tulisan di atas saya! Tak ada yang boleh bicara dengan sopir, apalagi mengkritik." bentak sopir membahana. Semua tersentak. Dan seperti katak disiram air, tak ada lagi hiruk pikuk. Tak ada lagi kegaduhan. Sunyi seketika. Kondektur tersenyum puas.
"Makanya jangan pernah mengganggu sopir. Keselamatan penumpang ada di tangan Sopir." senyumnya sinis.
Akhirnya bus tua Pertiwi berhenti di terminal yang tak kalah tua dan semrawut. Tak ada penumpang yang turun. Semua bertahan di dalam bus, bahkan mereka merasa nikmat. Sementara itu, kondektur dan sopir telah pergi mencari hiburan di pojok terminal.
"Apa kamu tak mau turun?" tanya seorang mahasiswa.
"Buat apa turun dari bus jelek ke terminal lebih jelek lagi. Keluar mulut harimau masuk ke lubang semut," jawab seorang ibu sambil berusaha menenangkan anaknya yang kelaparan.
"Aku takut tersesat di terminal yang tak kukenal." ujar seorang cewek tanpa memedulikan kegaduhan, tetap bermanja d alam dekapan kekasihnya.
Api kegaduhan kembali tersulut. Perang mulut merebak seperti desingan tembak. Beribu wacana, spekulasi, dan argumentasi saling hantam bak luncuran rudal. Namun, tak menghalangi sekian pengasong menjajakan jualan. Diam-diam seorang pengasong asing mengedarkan serbuk-serbuk dari dalam plastik.
"Maaf, di rumah tepung seperti ini harganya jauh lebih murah," tolak seorang tua.
"Ini bukan tepung biasa, Pak! Lebih gurih dari tepung, lebih manis dari gula," terang orang asing itu. Orang tua itu acuh, tak perduli. Tapi, beberapa pemuda penasaran dan membelinya dengan rakus.
"Ini bisa dimakan langsung?"
"Dengan teknik tertentu bisa sangat nikmat"
Seorang pengamen menyenadungkan lagu cinta. Suaranya merdu, iramanya mendayu-dayu. Mestinya para penumpang terkesima dengan lagu itu. Tapi, rupanya mereka lebih terpesona dengan lagu-lagu mancanegara yang ditayangkan lewat TV dalam bus itu. Sementara, lagu si pengamen hanya dihargai uang receh, atau bahkan cibiran sinis.
Pak sopir kembali, kondektur naik lagi. Bus Pertiwi menderum lalu bergerak pelan. Mengangguk-angguk seperti orang mengantuk. Lubang diterobos, bebatuan penghalang digilas. Bus oleng seperti kena gempa. Penumpang yang mulai memejamkan mata tersentak. Anak-anak menjerit. Penumpang naik pitam, memisuh-misuh sopir tak karuan.
"Pak Sopir, kamu bisa nyetir, tidak?" teriak seorang mahasiswa disambut teriakan setuju para penumpang. Karena tetap tak digubris, para penumpang berdiri dan menendang-nendang kursi. Ada yang membantingya. Bahkan, ada yang menghantamkannya ke jendela bus hingga kacanya pecah berserakan.
Terpaksa bus dihentikan. Sopir diturunkan. Kini, sang kondektur coba menggantikan. Di wajahnya membias rasa puas. Ia senang berkesempatan menggantikan posisi pak sopir. Tapi, karena ia belajar dari sopir yang sebelumnya itu, ia tak beda-beda jauh. Meski sudah berusaha menjalankan bus sesuai keinginan penumpang, namun tetap saja ia hanya menorehkan kekecewaan. Ia lalu didemo dan terpaksa turun dari kursi sopir.
"Sekarang, siapa yang bisa menegemudikan bus Pertiwi ini?" tanya seorang pemuda.
"Yang bisa mengemudikan banyak. Tapi, siapa yang pantas itulah yang sulit didapat?" jawab seorang bapak berjas perlente. Orang-orang tahu ia sebenarnya menawarkan diri.
"Kita semua punya berhak atas bus ini. Kita sudah membayar tiket." Kata si petani.
"Tak satu pun berhak mengaku sebagai pemilik bus ini. Semua punya hak. Karena itu, kita harus mengurus bus ini secara kolektif dan demokratis,” terang mahasiswa tadi.
"Apa itu demokratis itu?" para penumpang bertanya.
"Artinya, semua penumpang berhak dan bebas memilih siapa yang dinilai mampu menjalankan bus ini sebagai sopir. Termasuk, setiap penumpang berhak memilih dirinya sendiri."
Semua penumpang coba mencerna apa yang dikatakan mahasiswa itu. Sepertinya menarik, pikir mereka. Lalu mereka pun mengangguk setuju. Masing-masing lalu merasa mampu mengemudikan bus dan, karena itu, berhak menjadi sopir. Tak terpikir oleh mereka, bahwa sebenarnya menjadi sopir itu berat. Ia memikul tanggung jawab mengantarkan para penumpang ke tempat tujuan masing-masing dengan baik dan selamat. Bukan menjalankan bus seenak perut dan sesuai keinginan sendiri. Ia harus mampu menyerap aspirasi segenap penumpang dan melayani mereka dengan sebaik-baiknya. Bukan hanya melayani penumpang yang satu seragam dengannya.
"Aku bisa mengemudikan bus ini" terdengan teriak seseorang dari belakang
"Aku lebih ahli."
“Aku lebih berhak, karena aku anak sopir!”
“Aku juga anak mantan sopir.”
Terjadi saling teriak di bus Pertiwi yang semakin tua itu. Semua berebut menjadi sopir. Semua merasa paling berhak, terutama yang sudah mengenyam duduk di kursi. Tak ada lagi etika. Semua saling berebut, termasuk saling berebut kursi. Termasuk bersaing antar sesama pemilik kursi.
Kini bus Pertiwi menjadi ajang rebutan kekuasaan sebagai sopir. Untuk mendapat dukungan, mereka mulai menebar janji-janji manis kesejahteraan dan kemakmuran bagi semua penumpang. Tak sedikit mereka yang kaya menabur uang. Suara penumpang seolah tambang emas untuk menuai ambisi dan hasrat mereka.
Bus Pertiwi diam menunggu nasib. Bus-bus lain sudah bergerak dan melaju meninggalkan bus Pertiwi yang makin reyot akibat perebutan kekuasaan untuk menjadi sopir. Padahal, bus memikul tanggungan hutang yang dari tahun ke tahun makin membengkak. Padahal, jika tidak bergerak cepat, Pertiwi hanya akan tinggal nama. Ia akan menjadi sejarah masa lalu yang segera digantikan oleh sopir dan penumpang-penumpang baru.
Sementara itu, mahasiswa yang tadi menggaungkan demokrasi hanya mampu bertopang dagu. "Ternyata bus Pertiwi belum siap menerima kabar demokrasi!” bisiknya dalam hati seraya turun dari bus Pertiwi.