Media Dakwah

BUMIAswaja

Media Dakwah MWCNU Pragaan

Meneladani Kedermawanan - Tabi'in dan Ulama

Jumat, 25 Desember 2015 11:25 WIB
162x Sajian-utama

"Jika kau peduli kepada sesama, maka kau akan diterima oleh siapapun dan di manapun."

- Maqolah -

Sebagian orang berpandangan bahwa semua ulama salaf itu membenci dunia. Orang yang benci dunia pasti hidup miskin. Padahal, banyak sekali ulama salaf yang kaya (seperti halnya Nabi dan para sahabat), tapi hati mereka tidak terikat oleh dunia. Kekayaan dimanfaatkan untuk tujuan akhirat, seperti untuk berinfaq, bersedekah, wakaf, hibah, dan untuk berdakwah.

Mari kita lihat contoh berikut.

Imam Hanafi merupakan seorang Tabi'in yang ajaran fiqhnya diikuti oleh NU. Beliau adalah pedagang sukses dan memiliki banyak kilang minyak. Dari kekayaannya itu, Imam Hanafi membiayai pendidikan para generasi muda Islam (semacam beasiswa) dan memberikan pekerjaan kepada murid-muridnya. Beliau juga


selalu mendorong umat Islam, terutama para ulama, untuk hidup mandiri dan membantu orang lain agar berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).

Contoh selanjutnya adalah ulama hadis terkenal, Imam Muslim an-Naisaburi. Imam Muslim menghidupi diri dengan berdagang pakaian di sebuah pasar bernama Khan Mahmasy (lihat Siyar ‘Alamin Nubala’ juz 12 hal. 570). Beliau juga memiliki banyak lahan pertanian di daerah Ustu, sebuah kawasan persawahan di pinggiran kota Naisabur (Lihat Mu’jamul Buldan, juz 1 hal. 175). Beliau membuka lapangan kerja kepada banyak orang, termasuk para budak (lihat Al ‘Ubar fi Khabar min Ghabar, juz 2 hal. 29). Prinsip beliau, menuntut ilmu dan berdakwah tidak menghalangi kita untuk mencari rezeki. Dan sebaliknya; mencari rezeki tidak menghalangi kita untuk menuntut ilmu dan berdakwah.

Contoh ketiga adalah ulama sufi terkenal, yaitu Abu Hasan As-Syadzili. Ulama kelahiran Maroko ini adalah pendiri thariqah Syadziliyah, yang pengikutnya tersebar mulai dari Maroko, Tunisia, Aljazair, Mesir, Kenya, Tanzania, Sri langka, Amerika, Malaysia, hingga Indonesia.

Syeikh Abu Hasan memiliki ladang-ladang pertanian. Beliau mempekerjakan banyak orang,


terutama murid-muridnya, serta rajin membantu yatim dan fakir-miskin. Prinsip beliau, “Jika kita sudah kaya, kita tidak perlu memikirkan dunia lagi. Tapi kalau belum kaya, kita sering berangan-angan memikirkan dunia.” Dan salah satu doa beliau ialah: “Ya Allah, jadikanlah dunia ini di tanganku, bukan di hatiku.”

Contoh lainnya adalah Abdullah Ibn Mubarok. Beliau terkenal karena kealiman, kezuhudan, kedermawanan, dan keberaniannya di medan perang. Sebagaimana telah disinggung pada artikel sebelumnya, Abdullah ibn Mubarok sering menanggung biaya perjalanan haji masyarakat di daerahnya (Marwa). Beliau juga membelikan barang-barang yang dipesan oleh keluarga jamaahnya. Kemudian, ketika kembali ke Marwa, beliau merenovasi rumah-ruamh jamaahnya. 

Ulama seperti Imam Hanafi, Imam Muslim, Abu Hasan as-Syadzili, dan Abdullah ibn Mubarok inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Alangkah baiknya jika harta itu berada di tangan orang-orang yang shaleh.”(HR Ahmad).


Ulama Indonesia

Kisah-kisah di atas merupakan kisah ulama Timur Tengah alias Tanah Arab. Lalau bagaimana dengan ulama Indonesia? Ternyata setali tiga uang alias sama saja. Mari kita lihat contohnya.

Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para ulama-pedagang. Mula-mula mereka bertempat tinggal di sekitar pusat-pusat perdagangan di tepi pantai. Lambat laun, tempat tinggal mereka berkembang menjadi perkampungan muslim, sehingga terjadilah hubungan akrab dengan penduduk setempat.

Sebagian ulama-pedagang tersebut melakukan perkawinan dengan wanita pribumi, sebagian lagi memiliki hubungan bisnis dengan keluarga kerajaan. Kedekatan dengan keluarga kerajaan, terutama para raja, memiliki dampak positif bagi perjuangan Islam. Target yang dituju adalah "memegang kepala untuk menaklukkan badan". Maksdunya, jika sang raja (kepala) masuk Islam, maka para pejabat dan rakyat (badan) akan mengikutinya. Strategi seperti inilah yang dilakukan pada pendakwah Islam pertama di Nusantara.  

Seperti yang terjadi di Sumatra Utara, di mana Syekh Ismail dari Mekah berhasil mengislamkan Raja Merah Silu (Malikus Saleh) yang kemudian diikuti oleh para pejabat dan rakyatnya. Keislaman Raja Malikus Saleh bersama rakyatnya, kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kerajaan Islam pertama di Nusantara, Samudera Pasai.

Hal yang sama terjadi di tanah Jawa dan Madura. Di Tanah Jawa, misalnya, pendakwah Islam pertama di lingkungan Kerajaan Majapahit adalah Raden Rahmatullah alias Sunan Ampel. Sunan Ampel adalah cucu Raja Campa yang masih satu keturunan dengan Dewi Dwarawati, permaisuri Prabu Brawijaya V.

Prabu Brawijaya V memang tidak masuk Islam, tapi dia memberi kebebasan kepada Sunan Ampel untuk berdakwah di wilayah kerajaan


Majapahit, terutama di pesisir utara Jawa Timur. Bahkan Prabu Brawijaya V memberikan tanah perdikan (tanah bebas pajak) di kawasan utara Surabaya yang kini dikenal dengan sebutan Ampel. Di sanalah Sunan Ampel mendirikan pesantren Ampel Denta dan mendidik para kader mubaligh yang kelak akan membantu dakwah beliau di berbagai penjuru Nusantara, termasuk ke Pulau Garam Madura.

Saudara Sunan Ampel yang bernama Raden Ali Murtadho dan bergelar Sunan Lembayung Fadhal (di Madura dikenal dengan julukan Raden Pandita), menyebarkan agama Islam di Pulau Sepudi Sumenep sambil berdagang dan mengajarkan keterampilan bercocok tanam. Raden Ali Murtadho berhasil mengajak Adipati Sumenep saat itu, Panembahan Joharsari (memerintah tahun 1319-1331 M.), untuk memeluk Islam. Keislaman Panembahan Joharsari kemudian diikuti oleh para pejabat dan rakyat Sumenep.

Dari sini dapat dipahami, para ulama penyebar Islam di Indonesia, khususnya Wali Songo, tidak berdakwah dengan "tangan kosong". Sebelum berdakwah, mereka telah dibekali ilmu yang mumpuni dan sudah mandiri secara ekonomi. Belum ada bukti sejarah yang menyebutkan bahwa ulama Wali Songo itu miskin-miskin dan harus mengemis kepada orang lain. Yang terjadi justru sebaliknya; Wali Songo membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat, baik dengan ilmu, doa, keterampilan, dan bantuan ekonomi.

Contohnya Sunan Drajat, beliau sangat konsens memberi pelatihan dan keterampilan dagang dan bercocok tanam, guna meningkatkan kesejahteraan fakir-miskin, yatim-piatu, dan para janda. Sunan Drajat juga aktif mengorganisir zakat, infak, dan


sedekah. Beliau memulai dari diri sendiri, sebagai contoh sukses bagi masyarakatnya.

Ulama NU

Mayoritas pendiri NU adalah tokoh-tokoh yang mandiri secara keilmuan, keagamaan, sosial, dan finansial. Mereka menghidupi NU, bukan hidup dari NU. Itulah sebabnya, para pendiri NU tidak bisa ditekan oleh penjajah Belanda maupun Jepang.

Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari, misalnya, selain istiqamah berdakwah dan mendidik santri, beliau juga tidak lupa berwirausaha. Keterampilan berwirausaha sudah dilakukan sejak usia 13 tahun, yakni dengan berdagang dan bertani. Dan ketika berusia 15 tahun, beliau mencari ilmu ke berbagai daerah hingga ke Mekah dengan biaya sendiri, dan tidak pernah sekalipun minta biaya kepada orang tuanya.

Ketika mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng, Kiai Hasyim menolak menerima tanah wakaf dari seorang dalang terkenal di Tebuireng. Beliau memilih membeli tanah tersebut dengan uang pribadi, agar pesantrennya bisa mandiri dan tidak terikat dengan siapapun. Kemandirian adalah sesuatu yang sangat berharga.

Selama mengasuh PP Tebuireng, setiap hari Selasa, Kiai Hasyim mengajak santri-santri yang tidak mampu untuk bertani di sawah-ladang milik beliau. Hasil bertani itu kemudian dimanfaatkan oleh para santri untuk memenuhi biaya hidup di pesantren. Dan sebelum wafat, Kiai Hasyim mewakafkan seluruh area pesantren seluas 12 hektar dan tanah-tanah pertanian lainnya di berbagai daerah seluas 30 hektar, kepada Pesantren Tebuireng. Sedangkan putra-putrinya sudah dibuatkan rumah dan diberi jatah tanah masing-masing.

Contoh selanjutnya adalah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Beliau dikenal sebagai kiai yang tekun, pekerja keras, dan dermawan. Beliau juga seorang mediator, komunikator, dan orator ulung. Pendiri Sarekat Islam (SI) cabang Mekkah inilah yang mendirikan Tashwirul Afkar,


Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatut Tujjar, yang kesemuanya menjadi embrio berdirinya NU.

Kiai yang lahir pada Maret 1888 ini memiliki banyak tanah pertanian, beberapa toko, dan sebuah percetakan Jalan Sasak No. 23 Surabaya. Dari percetakan itu, Kiai Wahab merintis berdirinya Soeara Nahdlatoel Oelama’, majalah pertama milik NU.

Ketika Kiai Wahab wafat, beliau mewakafkan tanah yang ditempati Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas seluas lebih dari 15 hektar. Begitu juga tanah-tanah yang ditempati Madrasah Ahloel Wathan di Wonokromo Surabaya, Madrasah Far'oel Wathan di Gresik, Madrasah Hidayatoel Wathan di Jombang, dan Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya, semuanya didirikan dari biaya beliau sendiri. Hal ini membuktikan bahwa kesuksesan dakwah Kiai Wahab didukung oleh tercukupinya kebutuhan ekonomi dan jiwa kedermawanan beliau.

Contoh terakhir adalah ketua Tanfidziyah PBNU pertama, yaitu Hasan Gipo. Beliau lahir di lingkungan keluarga kaya di kawasan perdagangan elite Ngampel, bersebelahan dengan pusat perdagangan Pabean Surabaya (dekat Jembatan Merah). Beliau masih keturunan Sunan Ampel. Dinasti Gipo memiliki unit usaha yang bergerak di bidang ekspor-impor beras, tekstil, persewaan toko dan gudang.

Hasan Gipo sering bertemu dengan KH. Wahab Hasbullah. Dia juga sering mengantar Kiai Hasyim As’ari dan Kiai Wahab Hasbullah menemui para aktivis pergerakan di Surabaya, seperti HOS Cokroaminoto, Dr. Soetomo, Soekarno, Kartosuwiryo, Muso, SK Trimurti, dan masih banyak lagi. Dari situlah ide-ide kemerdekaan Indonesia dimulai. Dari situ pula Hasan Gipo dipercaya menjadi Ketua Umum Tanfidziyah NU yang pertama, mendampingi Rasi Akbar KH. Hasyim Asy’ari.

Sebagai seorang pengusaha, Hasan Gipo "menghidupi NU". Seringkali pertemuan para


ulama (seperti bahtsul masail, Munas, hingga Muktamar) dibiayai oleh Hasan Gipo. Intinya, dengan kedermawanannya itu, Hasan Gipo berhasil membantu NU sehingga tetap eksis hingga hari ini.

Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lainnya yang mencerminkan sifat kedermawanan dan totalitas perjuangan para ulama di jalan Allah SWT. Namun, karena keterbatasan halaman, maka di sini hanya disebutkan beberapa contoh saja. Namun, contoh yang sedikit ini kiranya sudah cukup menjadi bukt bahwa para ulama dalam berjuang tidak hanya mengandalkan ilmu dan doa, tapi juga bakti kemasyarakat dan kedermawanan sosial. Baik itu ulama yang berada di Timur Tengah (Arab) maupun di Indonesia. Baik sejak masa awal Islam, zaman Wali Songo, hingga era para pendiri NU.

Yang perlu dicatat, contoh-contoh di atas bukan hanya untuk dibaca dan dikagumi, tapi untuk ditiru dan diteladani. Apalah gunanya kita memuji-muji dan mengagumi para ulama, jika perjuangan mereka tidak kita lanjutkan?

Kesimpulannya, kesuksesan dakwah para ulama tidak hanya ditentukan oleh faktor keilmuan dan wawasan keagamaan saja, tapi juga ditopang oleh kualitas pribadi mereka yang santun, bersahaja, toleran, mengharagai tradisi, dan peduli kepada sesama. Dengan kepribadian yang baik dan kepedulian sosial yang tinggi, ilmu dan dakwah yang mereka sampaikan mudah diterima oleh umat.

So, jika kita ingin menangkis "serangan fajar", tidak tergoda oleh "money politic', tidak menjual prinsip agama demi kepentingan politik dan kekuasaan, maka tirulah para ulama, ikuti jejak langkah Wali Songo dan para pendiri NU. Mereka semua berilmu tinggi, berwawasan luas, toleran terhadap perbedaan, menghargai tradisi masyarakat, mandiri secara ekonomi dan politik, serta peduli kepada sesama. Itulah jalan keselataman yang paling hakiki. Itulah jejak-langkah para Nabi yang harus kita ikuti. Maukah Anda mengikuti jejak-langkah mereka? WaLlahu a’lam. (Sipe)

  • Senin, 28 Desember 2015 09:55 WIB Hakikat - Harta

    Salah satu maqam (kedudukan/tahapan) yang harus ditempuh para sufi (ahli tasawuf) adalah maqam zuhud. Zuhud adalah sikap untuk tidak mencintai kemewahan duniawi. Di kalangan ulama sufi, ada dua pendapat tentang pengertian zuhud. Pengertian pertama, zuhud berarti berpaling dari hal-hal yang bersifat duniawi dan

  • Jumat, 25 Desember 2015 12:54 WIB Meraih Barokah - bersama Anak Yatim

    Sebuah Kisah Nyata1 Sudah 7 tahun saya merantau dari sebuah desa kecil di Sumatera ke Jakarta. Tujuannya hanya satu, mencoba peruntungan. Siapa tahu, Jakarta yang hanya saya dengar di televisi bisa merubah garis hidup saya. Salah satu andalan saya di kota paling besar di Negeri ini adalah berjualan

  • Jumat, 4 September 2015 08:19 WIB Paradoks - Sosial

    Ada banyak paradoks dalam kehidupan sosial kita. Banyak sekali umat Islam yang sering berangkat umroh, sementara tetangganya terpaksa tidur di emperan toko karena tidak punya rumah. Ada juga yang jidatnya menghitam karena banyak sujud, sementara tetangganya tergolek lemah digerogoti penyakit dan tak mampu beli

  • Jumat, 4 September 2015 08:16 WIB Miskin dan - Kaya

    Mayoritas manusia menganggap kemiskinan (materi) sebagai musuh. Coba kita beranya kepada orang lain, “Apakah Anda mau jadi orang miskin” Atau, Maukah Anda didoakan miskin” Pasti dia tidak akan mau. Karena, dalam psikologi-sosial, miskin itu identik dengan kerendahan, kehinaan, inferioritas,

Memuat Data...

Siapkan Identitas
Khusus Warga Kecamatan Pragaan